Liputan6.com, Jakarta Dalam dunia properti dan real estate, ada banyak istilah dan regulasi yang perlu dipahami oleh para pelaku usaha maupun masyarakat umum. Salah satu hal penting yang sering kali menjadi pertanyaan adalah BPHTB. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan BPHTB? Bagaimana cara menghitungnya? Dan mengapa kita perlu membayar BPHTB?
Baca Juga
Advertisement
BPHTB, atau Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, adalah salah satu jenis pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Pajak ini menjadi kewajiban bagi setiap orang atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan di Indonesia. Pemahaman yang baik tentang BPHTB sangat penting, terutama bagi mereka yang berencana untuk membeli properti atau terlibat dalam transaksi yang berkaitan dengan tanah dan bangunan.
Dalam artikel ini, kita akan membahas secara mendalam tentang apa itu BPHTB, dasar hukumnya, siapa saja yang menjadi subjek dan objek pajak BPHTB, bagaimana cara menghitungnya, serta berbagai aspek penting lainnya yang berkaitan dengan BPHTB. Dengan memahami BPHTB secara komprehensif, diharapkan Anda dapat lebih siap dalam melakukan transaksi properti dan memenuhi kewajiban perpajakan dengan baik.
Untuk memahami lebih dalam tentang apa itu BPHTB, simak penjelasan selengkapnya berikut ini seperti yang telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Senin (21/10/2024).
Apa itu BPHTB?
BPHTB adalah singkatan dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Secara definisi, BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Perolehan hak yang dimaksud di sini adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
Sebelum tahun 2011, BPHTB merupakan pajak pusat yang dikelola oleh pemerintah pusat. Namun, sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, BPHTB telah dialihkan menjadi pajak daerah. Hal ini berarti pengelolaan dan pemungutan BPHTB kini menjadi kewenangan pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Tujuan utama dari pengenaan BPHTB adalah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) yang dapat digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Selain itu, BPHTB juga berfungsi sebagai instrumen untuk mengatur dan mengendalikan transaksi properti di suatu daerah.
Advertisement
Dasar Hukum BPHTB
Untuk memahami BPHTB secara lebih mendalam, penting bagi kita untuk mengetahui dasar hukum yang mengatur tentang pajak ini. Berikut adalah beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum BPHTB:
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
- Peraturan Daerah yang ditetapkan oleh masing-masing pemerintah daerah
Sebagai contoh, di Kota Surakarta, BPHTB diatur dalam Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 13 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Setiap daerah memiliki peraturan daerah sendiri yang mengatur tentang BPHTB, namun tetap mengacu pada UU No. 28 Tahun 2009 sebagai payung hukum utama.
Subjek dan Wajib Pajak BPHTB
Untuk memahami siapa saja yang berkewajiban membayar BPHTB, kita perlu mengetahui subjek dan wajib pajak BPHTB.
Subjek Pajak BPHTB
Subjek pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan. Ini berarti setiap individu atau entitas hukum yang mendapatkan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui berbagai cara, seperti jual beli, hibah, waris, atau cara lainnya, menjadi subjek pajak BPHTB.
Wajib Pajak BPHTB
Wajib pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan. Pada dasarnya, subjek pajak dan wajib pajak BPHTB adalah sama. Perbedaannya terletak pada kewajiban untuk membayar pajak. Wajib pajak memiliki kewajiban untuk menghitung, membayar, dan melaporkan BPHTB yang terutang.
Penting untuk dicatat bahwa dalam transaksi jual beli properti, yang menjadi wajib pajak BPHTB adalah pembeli, bukan penjual. Hal ini karena BPHTB dikenakan atas perolehan hak, bukan atas pengalihan hak.
Advertisement
Objek Pajak BPHTB
Objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Perolehan hak yang dimaksud dapat terjadi karena:
1. Pemindahan hak, yang meliputi:
- Jual beli
- Tukar menukar
- Hibah
- Hibah wasiat
- Waris
- Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain
- Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
- Penunjukan pembeli dalam lelang
- Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
- Penggabungan usaha
- Peleburan usaha
- Pemekaran usaha
- Hadiah
2. Pemberian hak baru, yang meliputi:
- Kelanjutan pelepasan hak
- Di luar pelepasan hak
Setiap transaksi atau peristiwa hukum yang mengakibatkan perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan seperti yang disebutkan di atas akan dikenakan BPHTB.
Tarif dan Cara Penghitungan BPHTB
Setelah memahami subjek, wajib pajak, dan objek BPHTB, langkah selanjutnya adalah mengetahui tarif dan cara penghitungan BPHTB. Hal ini penting agar Anda dapat memperkirakan besaran BPHTB yang harus dibayar dalam transaksi properti.
Tarif BPHTB
Tarif BPHTB ditetapkan oleh masing-masing pemerintah daerah melalui Peraturan Daerah. Namun, berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009, tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen). Kebanyakan daerah menetapkan tarif BPHTB sebesar 5%, tetapi ada juga beberapa daerah yang menetapkan tarif lebih rendah.
Cara Penghitungan BPHTB
Untuk menghitung BPHTB, kita perlu memahami beberapa istilah penting:
- NPOP (Nilai Perolehan Objek Pajak): Nilai transaksi atau nilai pasar yang digunakan sebagai dasar pengenaan BPHTB.
- NPOPTKP (Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak): Nilai pengurangan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah.
Rumus penghitungan BPHTB adalah sebagai berikut:
BPHTB = Tarif x (NPOP - NPOPTKP)
Contoh penghitungan:
Misalkan Anda membeli sebuah rumah seharga Rp 500.000.000 di sebuah daerah dengan tarif BPHTB 5% dan NPOPTKP Rp 60.000.000. Maka perhitungan BPHTB-nya adalah:
BPHTB = 5% x (Rp 500.000.000 - Rp 60.000.000)
= 5% x Rp 440.000.000
= Rp 22.000.000
Jadi, BPHTB yang harus dibayar adalah Rp 22.000.000.
Advertisement
Pengecualian dan Keringanan BPHTB
Dalam beberapa kasus, ada pengecualian atau keringanan dalam pembayaran BPHTB. Beberapa contoh pengecualian dan keringanan BPHTB antara lain:
- Objek pajak yang diperoleh perwakilan diplomatik berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
- Objek pajak yang diperoleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum.
- Objek pajak yang diperoleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut.
- Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama.
- Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena wakaf.
- Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
Selain itu, beberapa daerah juga memberikan keringanan BPHTB untuk kasus-kasus tertentu, seperti perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat.
Prosedur Pembayaran BPHTB
Prosedur pembayaran BPHTB dapat berbeda-beda di setiap daerah, namun secara umum meliputi langkah-langkah berikut:
- Wajib pajak atau PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) mengisi formulir SSPD (Surat Setoran Pajak Daerah) BPHTB.
- Wajib pajak melakukan pembayaran BPHTB melalui bank yang ditunjuk oleh pemerintah daerah.
- Wajib pajak atau PPAT menyerahkan bukti pembayaran BPHTB ke kantor pertanahan setempat sebagai salah satu syarat pendaftaran peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Beberapa daerah telah menerapkan sistem e-BPHTB yang memungkinkan wajib pajak untuk melakukan pendaftaran, penghitungan, dan pembayaran BPHTB secara online. Sistem ini bertujuan untuk mempermudah proses pembayaran BPHTB dan mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan dalam penghitungan.
Sanksi Terkait BPHTB
Keterlambatan atau kelalaian dalam pembayaran BPHTB dapat mengakibatkan sanksi administrasi. Sanksi ini biasanya berupa denda sebesar 2% per bulan dari jumlah pajak yang terutang, untuk jangka waktu paling lama 24 bulan.
Selain itu, jika ditemukan adanya kecurangan atau pemalsuan data dalam pelaporan BPHTB, wajib pajak dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Pemahaman yang baik tentang BPHTB sangat penting bagi setiap orang yang terlibat dalam transaksi properti. Dengan mengetahui definisi, dasar hukum, subjek dan objek pajak, cara penghitungan, serta prosedur pembayaran BPHTB, Anda dapat lebih siap dalam melakukan transaksi properti dan memenuhi kewajiban perpajakan dengan baik.
Perlu diingat bahwa ketentuan BPHTB dapat berbeda-beda di setiap daerah, sehingga penting untuk selalu merujuk pada peraturan daerah setempat. Jika Anda merasa ragu atau membutuhkan informasi lebih lanjut tentang BPHTB, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan pihak yang berwenang atau profesional di bidang perpajakan.
Dengan pemahaman yang baik tentang BPHTB, diharapkan proses transaksi properti dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jangan lupa untuk selalu menyimpan bukti pembayaran BPHTB sebagai dokumentasi penting dalam kepemilikan properti Anda.
Advertisement