Tradisi ke Makam Sebelum Puasa, Memaknai Warisan Budaya dan Spiritual Indonesia

Tradisi ke makam sebelum puasa ini memiliki makna mendalam sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur sekaligus persiapan rohani menghadapi ibadah puasa.

oleh Woro Anjar Verianty diperbarui 22 Jan 2025, 17:20 WIB
Diterbitkan 22 Jan 2025, 17:20 WIB
Ilustrasi nyekar, ziarah kubur
Ilustrasi nyekar, ziarah kubur. (Foto oleh RODNAE Productions: https://www.pexels.com/id-id/foto/pria-bunga-bunga-pohon-depresi-6841361/)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Menjelang bulan suci Ramadhan, masyarakat Muslim di Indonesia memiliki berbagai tradisi yang khas, salah satunya adalah tradisi ke makam sebelum puasa yang telah mengakar kuat dalam budaya nusantara. Ritual yang dikenal dengan berbagai nama seperti nyekar, nyadran, atau munggahan ini menjadi momen spiritual yang tak terpisahkan dari persiapan menyambut Ramadhan.

Tradisi ke makam sebelum puasa ini memiliki makna mendalam sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur sekaligus persiapan rohani menghadapi ibadah puasa. Di berbagai daerah, tradisi ke makam sebelum puasa dilakukan dengan cara yang beragam namun tetap mempertahankan esensi utamanya yaitu mendoakan arwah leluhur dan mengingatkan diri akan kehidupan akhirat.

Menariknya, meski tradisi ke makam sebelum puasa sudah ada sejak zaman pra-Islam, para wali songo berhasil mengakulturasikan kebiasaan ini dengan nilai-nilai Islam sehingga menjadi praktik budaya yang tidak bertentangan dengan syariat. Biasanya dilaksanakan pada bulan Syaban atau seminggu sebelum Ramadhan, tradisi ini menjadi momentum untuk mempererat silaturahmi dan meningkatkan kesadaran spiritual.

Lebih jelasnya, berikut ini telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber sejarah dan makna tradisi ke makam sebelum puasa di Indonesia, pada Rabu (22/1).

Sejarah dan Perkembangan Tradisi Ziarah Pra-Ramadhan

Ilustrasi meninggal dunia, makam, kuburan, berziarah
Ilustrasi meninggal dunia, makam, kuburan, berziarah. (Image by Freepik)... Selengkapnya

Sejarah mencatat bahwa tradisi ziarah kubur telah ada jauh sebelum Islam masuk ke Nusantara. Pada masa awal dakwah Islam, Rasulullah SAW pernah melarang praktik ziarah kubur karena kekhawatiran akan terjadinya kesyirikan. Namun kemudian, beliau membolehkan dan bahkan menganjurkannya sebagaimana tertuang dalam hadits:

قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ

"Sesungguhnya aku dulu telah melarang kalian berziarah kubur. Maka (sekarang) ziarahlah karena akan bisa mengingatkan kepada akhirat." (HR Muslim)

Di tanah Jawa, tradisi ini mengalami perkembangan unik setelah masuknya Islam. Para wali songo dengan bijak memadukan nilai-nilai Islam dengan tradisi lokal yang sudah ada. Nyadran, sebagai salah satu bentuk tradisi ziarah, biasanya dilaksanakan pada hari ke-10 bulan Rajab atau awal bulan Syaban.

Dalam proses akulturasi ini, para wali berhasil mentransformasi tradisi lokal menjadi sarana dakwah yang efektif. Mereka mengajarkan bahwa ziarah bukan sekadar mengunjungi makam, tetapi juga kesempatan untuk mendoakan arwah leluhur dan mengambil pelajaran tentang kehidupan dan kematian.

 

Ragam Penyebutan dan Praktik di Berbagai Daerah

Di Indonesia, tradisi mengunjungi makam sebelum Ramadhan memiliki berbagai penyebutan yang berbeda di setiap daerah, mencerminkan kekayaan budaya nusantara. Di wilayah Jawa Tengah, tradisi ini dikenal dengan istilah "nyadran" atau "sadranan", sementara di Jawa Timur disebut "kosar". Masyarakat Sunda menyebutnya "munggahan", dan di beberapa daerah lain dikenal dengan istilah "nyekar".

Meski memiliki nama yang berbeda, esensi dari tradisi ini tetap sama yaitu sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan persiapan spiritual menjelang Ramadhan. Pelaksanaannya biasanya meliputi pembersihan makam, tabur bunga, dan yang terpenting adalah pembacaan doa dan tahlil untuk para arwah.

Dalam praktiknya, masyarakat sering melakukan kegiatan ini secara berkelompok atau berjamaah. Ada yang melakukannya bersama keluarga, ada pula yang mengorganisir kegiatan ini dalam skala lebih besar melibatkan seluruh warga desa. Hal ini menjadikan tradisi ini tidak hanya bermakna spiritual tetapi juga sosial.

Landasan Syariat dan Pandangan Ulama

Dalam perspektif Islam, tradisi ziarah kubur memiliki landasan yang kuat dari Al-Quran dan Hadits. Imam Nawawi al-Bantani dalam kitab Nihayatuz Zain menjelaskan keutamaan ziarah kubur, khususnya kepada makam orang tua. Beliau menyebutkan hadits:

مَنْ زَارَ قَبْرَ أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِي كُلِّ جُمْعَةٍ غُفِرَ لَهُ وَكُتِبَ بَرًّا

"Barang siapa berziarah ke makam kedua orang tuanya atau salah satunya setiap hari Jumat, maka Allah mengampuni dosa-dosanya dan dia dicatat sebagai anak yang taat dan berbakti kepada kedua orang tuanya."

Para ulama Indonesia, khususnya dari kalangan Nahdlatul Ulama, memandang tradisi ini sebagai praktik yang baik selama dilaksanakan sesuai dengan tuntunan syariat. Mereka merujuk pada penjelasan Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Fatawa Fiqhiyah al-Kubra yang menyatakan bahwa ziarah ke makam para wali dan orang saleh merupakan ibadah yang disunnahkan.

Adab dan Tata Cara yang Sesuai Syariat

Ilustrasi istri meninggal, kuburan, sedih, ziarah
Ilustrasi istri meninggal, kuburan, sedih, ziarah. (Image by freepik)... Selengkapnya

Dalam melaksanakan tradisi ziarah sebelum Ramadhan, terdapat beberapa adab dan tata cara yang perlu diperhatikan agar sesuai dengan tuntunan syariat. Pertama, niat yang benar yaitu untuk mengingat kematian dan mendoakan arwah, bukan untuk meminta sesuatu kepada penghuni kubur.

Kedua, mengucapkan salam kepada penghuni kubur sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW:

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لاَحِقُونَ

"Semoga keselamatan terlimpah atas kalian, wahai penghuni kubur dari kaum mukminin. Dan sesungguhnya kami insya Allah akan menyusul kalian."

Ketiga, menjaga adab selama di area pemakaman, seperti tidak duduk atau menginjak makam, tidak melakukan perbuatan yang tidak sesuai syariat, serta menghindari praktik-praktik yang mengarah pada kesyirikan.

Makna dan Nilai Spiritual dalam Tradisi

Tradisi ziarah kubur sebelum Ramadhan mengandung berbagai makna dan nilai spiritual yang mendalam bagi masyarakat Muslim Indonesia. Salah satu nilai utamanya adalah sebagai pengingat akan kematian dan kehidupan akhirat. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, ziarah kubur dapat melunakkan hati dan menitikkan air mata:

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَلَا فَزُورُوهَا، فَإِنَّهُ يُرِقُّ الْقَلْبَ، وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ، وَتُذَكِّرُ الْآخِرَةَ

"Dahulu saya melarang kalian berziarah kubur, tapi (sekarang) berziarahlah kalian, sesungguhnya ziarah kubur dapat melunakkan hati, menitikkan air mata, dan mengingatkan pada akhirat." (HR Hakim)

Kedua, tradisi ini menjadi sarana untuk menjalin dan memperkuat silaturahmi antar keluarga. Seringkali, momen ziarah sebelum Ramadhan menjadi kesempatan bagi keluarga besar untuk berkumpul dan saling berinteraksi. Hal ini sejalan dengan semangat bulan Ramadhan yang mengajarkan pentingnya memperkuat ikatan kekeluargaan.

Ketiga, tradisi ini mengajarkan nilai-nilai berbakti kepada orang tua dan leluhur, bahkan setelah mereka wafat. Islam mengajarkan bahwa mendoakan orang tua yang telah meninggal merupakan salah satu bentuk birrul walidain yang pahalanya akan terus mengalir. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:

إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلا مِنْ ثَلاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

"Jika anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya." (HR Muslim)

Melestarikan Tradisi dengan Tetap Menjaga Syariat

Dalam upaya melestarikan tradisi ziarah sebelum Ramadhan, penting untuk tetap memperhatikan batasan-batasan syariat. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain:

  • Menghindari praktik-praktik yang mengarah pada kesyirikan seperti meminta pertolongan kepada arwah atau meyakini bahwa arwah dapat memberikan manfaat dan mudarat.
  • Memahami bahwa waktu pelaksanaan sebelum Ramadhan bukanlah keharusan atau kewajiban syariat, melainkan tradisi yang baik selama dilaksanakan sesuai tuntunan.
  • Menjaga keseimbangan antara menghormati tradisi lokal dan ketaatan pada syariat Islam.
  • Memanfaatkan momentum ini untuk introspeksi diri dan mempersiapkan diri secara spiritual menghadapi bulan Ramadhan.

Dengan memahami dan mengamalkan nilai-nilai di balik tradisi ini, diharapkan masyarakat Muslim Indonesia dapat terus melestarikan warisan budaya leluhur sembari tetap berpegang teguh pada ajaran Islam. Tradisi ziarah sebelum Ramadhan bukan sekadar ritual tahunan, melainkan sarana untuk meningkatkan ketakwaan dan memperkuat ikatan sosial dalam masyarakat.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya