Liputan6.com, Jakarta - Para caleg yang berhasil melenggang ke kursi parlemen di Senayan pada Pemilu 2014 dianggap bukan karena berkapasitas, tetapi money politics atau politik uang. Politik uang Pemilu 2014 dinilai lebih massive dari Pemilu sebelumnya.
"Saya termasuk salah satu orang yang meyakini maraknya money politics dalam Pemilu 2014. Atau politik transaksional masih menjadi primadona baik bagi caleg maupun pemilih," kata peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus di Jakarta, Jumat (2/5/2014).
"Dengan kata lain, wajah parlemen baru setelah Pemilu 2014, masih tak akan lebih baik dari sebelumnya. Parlemen akan dihuni oleh orang-orang yang membeli kepercayaan rakyat, bukan karena sungguh dipercaya oleh rakyat," tandas Lucius.
Lucius menilai, politik uang pada Pemilu 2014 ini sepertinya lebih besar dan lebih terorganisir. Hal ini menunjukan budaya transaksi politik sudah menjadi budaya yang mendarah daging di negeri ini.
"Mereka berhasil menaklukan pemilih dengan transaksi yang lebih masif. Jadi, wajah parlemen bukannya dibaharui oleh wajah-wajah baru, tapi malah condong akan mempertahankan budaya parlemen sebelumnya," kata Lucius.
Dengan masifnya politik uang, Lucius memprediksi, anggota dewan yang telah terpilih pada Pileg 9 April lalu, bukan menjadi tolak ukur. Bahkan, bisa dikatakan parlemen baru jauh lebih buruk. "Parlemen baru sangat mungkin jauh lebih buruk dari yang sekarang."
Lucius pun pesimis terhadap kinerja para penyambung lidah rakyat itu ke depan. "Yang pertama adalah ancaman korupsi dan permainan anggaran. Dengan modal kemenangan melalui transaksi dan money politics, para caleg terpilih sudah memperlihatkan bahwa ada masalah serius terkait integritas dan akuntabilitas mereka."
"Cacat integritas tersebut merupakan modal awal untuk cacat-cacat selanjutnya di parlemen. Kedua, anggota DPR tak akan maksimal membangun relasi dengan konstituen," pungkas Lucius.
Pada Pileg 2014 lalu, para caleg masih banyak yang menggunakan cara-cara yang 'nakal' untuk mendulang suara. Berdasarkan hasil riset Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), masih banyak 'caleg nakal' yang memanipulasi dana kampanyenya.
"Modusnya ada beberapa tipologi. Menyamarkan dana kampanyenya masih sama sebetulnya. Ada buat beli properti, buat beli kendaraan dan buat beli perhiasan," jelas Wakil Ketua PPATK Agus Santoso ketika berkunjung ke kantor redaksi Liputan6.com, SCTV Tower, Senayan, Jakarta, Kamis 6 Februari lalu.
Namun di balik modus yang sama, Agus menjelaskan juga ada tren baru yang digunakan para 'caleg nakal' ini untuk menyamarkan dana kampanyenya. "Tren relatif baru itu, membeli premi asuransi. Melalui premi tunggal, premi asuransi. Kemudian transaksi dengan menggunakan uang asing," katanya.
Menurut Agus, PPATK hingga saat ini masih melakukan pengamatan terkait adanya transaksi keuangan mencurigakan jelang pemilu yang dicurigai sebagai penyelewangan dana kampanye caleg. "Kita masih mengamati itu. Saya belum bisa menyampaikannya. Masih mengamati."
"Beberapa laporan kita baru mulai terima terkait LTKM. Kalau ada dana terlapor pasti kita periksa," tandas Agus. (Mut)