Liputan6.com, Purworejo - Beduk adalah bagian dari sejarah Islam di Nusantara yang masih lestari. Beduk ada di masjid atau musala, mulai dari perkampungan maupun kota.
Kegunaan beduk secara umum adalah penanda waktu salat. Biasanya, beduk ditabuh sebelum kumandang azan. Sementara, azan adalah panggilan untuk salat.
Di Indonesia, beduk terbesar ada di Masjid Agung Purworejo, Jawa Tengah. Bahkan, diyakini ini adalah beduk terbesar di dunia.
Advertisement
Baduk ini dibuat pada masa pemerintahan bupati Purworejo, Adipati Cokronegoro I. Bedug ini dinamakan Kiai Bagelen. Dibikin tahun 1834.
Baca Juga
Bahannya terbuat dari kulit banteng Jawa dan kayu jati purba. Cokronegoro I sendiri merupakan Bupati Purworejo, sahabat Pangeran Diponegoro saat mondok, lalu menjadi lawannya dalam Perang Jawa.
Cokronegoro I menulis Babad Kedungkebo yang berisi lika-liku Perang Jawa versinya dan Belanda, dan menjadi manuskrip penting selain Babad Dipanegara yang ditulis oleh Sang Pangeran.
Sementara, Masjid Agung Purworejo merupakan peninggalan sejarah dari periode masa Islam di Indonesia. Masjid Agung Purworejo bernama Masjid Jami’ Darul Mutaqqim. Masjid ini terletak di pusat kota Purworejo, tepatnya di sebelah Barat alun-alun Purworejo.
Masjid Agung Purworejo terletak di Kampung Kauman, Desa Sindurjan, Kecamatan Purworejo, Kabupaten Purworejo.
Di sekitar masjid terdapat beberapa bangunan penting, antara lain kediaman bupati, Kantor Pemerintah Kabupaten Purworejo, Gereja GPIB, serta penjara dan bangunan tangsi militer yang sekarang berfungsi sebagai markas infanteri 412.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Sejarah Purworejo dan Masjid Agung
Mengutip Kemdikbud.go.id, sejarah berdirinya Masjid Agung Purworejo tidak terlepas dari sejarah Purworejo sendiri. Purworejo dahulu dikenal dengan sebutan Bagelan yang termasuk wilayah Karesidenan Bagelan. Wilayah Bagelan pada abad XIX merupakan wilayah Nagara Agung Kasunanan Surakarta.
Kondisi wilayah Bagelan yang kurang kondusif mendorong Belanda untuk menentramkan wilayah tersebut dengan meminta bantuan kepada Paku Buwono VI. Paku Buwono VI memilih Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Kusumoyudho sebagai panglima untuk membantu Belanda. Belanda menjanjikan kepada KGPH Kusumoyudho apabila berhasil akan diangkat sebagai penguasa di wilayah Bagelan.
KGPH Kusumoyudho dibantu Raden Ngabehi Resodiwiryo. Resodiwiryo dapat mengamankan wilayah di Bagelan dengan baik. Sehingga ia mendapat kepercayaan dari KGPH Kusumoyudho untuk menjabat sebagai Bupati Tanggung yang wilayah kekuasaannya berada di sebelah Timur Sungai Bogowonto. Resodiwiryo kemudian bergelar Kanjeng Raden Tumenggung Cokrojoyo.
Setelah selesai Perang Diponegoro pemrintah Belanda meminta seluruh wilayah Bagelan. Wilayah ini dijadikan karesidenan di bawah pimpinan Residen A.I. Ruitenback. Kemudian oleh Komisaris van Sevenhoven, Karesidenan Bagelan dibagi menjadi empat daerah kadipaten dengan para adipati penguasanya yaitu:
Kadipaten Brengkelan menjadi Bagelan Timur dengan K.R. Adipati Cokrojoyo sebagai bupatinya. Kadipaten Semawung (Semawon) meliputi Bagelan Selatan yang dipimpin oleh K.R. Adipati Notonagoro Sawunggalih II. Kadipaten Karangduwur meliputi Bagelan Utara dipimpin oleh K.R. Adipati Mangunnagoro. Kadipaten Ngaran meliputi Bagelan Barat yang dipimpin oleh K.R. Adipati Arung Binang.
K.R. Adipati Cokrojoyo yang dilantik sebagai Bupati Brengkelan pada tahun 1830 M mengubah nama Kadipaten Brengkelan menjadi Kadipaten Purworejo dengan persetujuan Komisaris van Lawick van Pabst. Setelah disetujui nama baru tersebut, K.R. Adipati Cokrojoyo terkenal dengan sebutan K.R. Adipati Cokronagoro I yang mulai memerintah di Kadipaten Purworejo pada tahun1831.
Advertisement
Pemerintahan Adipati Cokronegoro I di Purworejo
Pada masa pemerintahannya K.R. Adipati Cokronagoro I banyak mengadakan pembangunan, seperti membuat saluran irigasi, bangunan kadipaten, dan Masjid Agung Kadipaten.
Pejabat yang diberi tugas melaksanakan pembangunan Masjid Kadipaten adalah Pepatih Dalem Kadipaten Purworejo yang bernama Patih Cokrojoyo. Pembuatan Masjid Kadipaten Purworejo dimulai tahun 1834 M sesuai yang tertera pada prasasti yang tertempel di atas pintu utama masjid.
ada tahun 1988, oleh kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Purworejo Drs. H. Moch. Soeripto dan Ketua Takmir KH. Drs. Muh. Ghufron Faqih, Masjid Agung Purworejo diberi nama Masjid Agung Darul Muttaqin Purworejo.
Kompleks Masjid Agung Purworejo terdiri dari Serambi, Ruang Utama, Mihrab, dan beberapa peninggalan lain seperti mimbar, maksura dan beduk. Salah satu keunikan yang terdapat di Masjid Agung Purworejo adalah keberadaan beduknya.
Konon, beduk yang ada di masjid ini adalah beduk terbesar di dunia. Bedug tersebut diberi nama Kyai Bagelan atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bedug Pandawa.
Beduk ini dibuat dari pangkal pohon jati raksasa dari Dukuh Pandawa, Desa Bragolan, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo. Bedug ini dibuat atas saran dari Tumenggung Prawiranegara (adik Tumenggung Cokronagoro I). Beduk terbesar ini memiliki ukuran garis tengah bagian depan 194 cm, garis tengah bagian belakang 180 cm, panjang 292 cm dengan keliling bagian depan 601 cm dan bagian belakang 564 cm.
Kulit beduk ini semula terbuat dari kulit banteng, namun sekarang telah diganti dengan kulit lembu.
Tim Rembulan