Liputan6.com, Jakarta - Forum Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama (NU) tahun 2023 menolak kebijakan 5 hari sekolah yang telah berlaku di beberapa wilayah, di antaranya Jawa Tengah dan Jawa Timur.
NU menilai kebijakan sekolah lima hari (full day school) berpotensi mengganggu pengajaran pendidikan karakter dan pendidikan keagamaan yang biasanya didapat dari madrasah diniyah sore seusai sekolah umum.
Advertisement
Baca Juga
Keputusan tersebut disambut baik oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI). JPPI berharap pemerintah menindaklanjuti keputusan Munas-Konbes NU 2023 terkait penolakan kebijakan lima hari sekolah.
"Perlu kita dukung, ini keputusan penting yang harus didengar para pengambil kebijakan," kata Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Abdullah Ubaid Matraji dikutip dari laman NU Online, Sabtu (24/9/2023).
Kebijakan penerapan lima hari sekolah tertuang dalam Peraturan Presiden yang menyangkut tentang Hari Kerja dan Jam Kerja Instansi Pemerintah dan Pegawai Aparatur Sipil Negara alias Perpres Nomor 21 Tahun 2023 yang dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas kerja pegawai aparatur sipil negara.
Ubaid mengatakan, seharusnya produktivitas bisa dilakukan dengan berbasis kinerja dan prestasi. Jangan hanya didasarkan pada laporan administratif yang mudah direkayasa. Jangan pula memperlakukan semua dengan sama.
"Full day school ini kebijakan yang tidak jelas. Peraturan ini dibuat berdasarkan apa? Apa ada kajiannya? Begitu dirilis itu kebijakan malah bertentangan dengan kebutuhan anak dan juga orang tua," terangnya.
Kebijakan lima hari sekolah, sambung Ubaid, hanya menambah beban siswa di sekolah. Anak punya hak lain untuk bermain, belajar di luar sekolah, dan membagi waktu bersama orang tua.
"Jangan samakan siswa dengan orang dewasa kerja. Jangan berikan beban anak-anak sebagaimana orang dewasa kerja dari pagi sampe sore. Itu sama saja bentuk eksploitasi anak," ujar Ubaid.
Â
Â
Simak Video Pilihan Ini:
Berpotensi Ganggu Madrasah Diniyah
Sebelumnya, Koordinator Komisi Bahtsul Masail Qonuniyyah KH Abdul Ghaffar Razin dalam konferensi pers Munas dan Konbes NU 2023 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur membeberkan alasan penolakan kebijakan lima hari sekolah dari aspek sosiologis dan yuridis.
Misalnya dari segi sosiologis, Gus Rozin menilai kebijakan sekolah lima hari berpotensi mengganggu pengajaran pendidikan karakter dan pendidikan keagamaan yang biasanya didapat dari madrasah diniyah sore seusai sekolah umum.
"Membahas dari aspek manfaat dan madharatnya mengingat di Nahdlatul Ulama kita mempunyai dua landasan, landasan sosiologisnya adalah Nahdlatul Ulama mempunyai sekian banyak madrasah diniyah dan TPQ yang kemudian kalau full day school, lima hari sekolah dan sepanjang hari ini dilaksanakan maka kemudian pendidikan karakter dan pendidikan keagamaan dasar yang tawasuth i'tidal moderat akan tidak menjadi maksimal atau terancam," ujarnya.
Selain itu, Gus Rozin menjelaskan landasan yuridis terkait penolakan kebijakan sekolah lima hari sebab adanya Perpres Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter yang mencabut Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Lima Hari Kerja.
Pencabutan Permendikbud ini dikarenakan Perpres lebih tinggi kedudukannya dan juga mutakhir regulasinya. "PBNU pernah melakukan penolakan terhadap Permendikbud tentang hari sekolah yang kemudian direvisi menjadi Perpres," pungkasnya.
Advertisement