Liputan6.com, Jakarta - Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia. Sepanjang sejarah nusantara, Islam mewarnai mulai dari perjuangan meraih kemerdekaan hingga masa setelah merdeka.
Sejak pergerakan perjuangan kemerdekaan, para tokoh dan pemuda muslim bahu-membahu dengan elemen lainnya. Satu hal yang diinginkan adalah terbebasnya Indonesia dari penjajahan.
Usai proklamasi kemerdekaan, Islam dipandang sebagai kekuatan signifikan, meski presiden pertama berasal dari kalangan nasionalis. Akan tetapi, bagaimanapun Islam menjadi kekuatan yang dominan.
Advertisement
Baca Juga
Bulan-bulan pertama usai kemerdekaan diwarnai dengan bedirinya partai Islam pertama di Indonesia, yakni Masyumi atau Masjumi (dalam ejaan lama-red). Pertama di sini dalam artian ikut pesta demokrasi era kemerdekaan, Pemilu.
Partai Masyumi didirikan pada 7-8 November 1945, di Yogyakarta, dalam kongres di Gedung Madrasah Mu'alimin Yogyakarta.
Mengutip Wikipedia, Masyumi pada awalnya merupakan sebuah organisasi Islam yang berada dalam pengawasan pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia. Organisasi ini didirikan pada tanggal 24 Oktober 1943 sebagai pengganti MIAI (Madjlisul Islamil A'laa Indonesia).
Tujuan pembentukan Masyumi sebagai sarana penghimpun masyarakat muslim di Indonesia untuk dijadikan sebagai pasukan pendukung Jepang dalam Perang Pasifik.
Meskipun demikian, Jepang tidak terlalu tertarik dengan partai-partai Islam yang telah ada pada zaman Belanda yang kebanyakan berlokasi di perkotaan dan berpola pikir modern, sehingga pada minggu-minggu pertama, Jepang telah melarang Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam Indonesia (PII).
Selain itu Jepang juga berusaha memisahkan golongan cendekiawan Islam di perkotaan dengan para kiai di pedesaan. Para kiai di pedesaan memainkan peranan lebih penting bagi Jepang karena dapat menggerakkan masyarakat untuk mendukung Perang Pasifik, sebagai buruh maupun tentara.
Â
Simak Video Pilihan Ini:
Berdirinya Masyumi
Setelah gagal mendapatkan dukungan dari kalangan nasionalis di dalam Putera (Pusat Tenaga Rakyat), akhirnya Jepang mendirikan Masyumi.
Masyumi pada zaman pendudukan Jepang belum menjadi partai namun merupakan federasi dari empat organisasi Islam yang diizinkan pada masa itu, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Perikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia.
Melansir Elshinta, Akronim dari Majelis Syuro Muslimin Indonesia, adalah organisasi masyarakat yang dibentuk Jepang pada 1943 untuk meredam potensi pemberontakan yang mungkin dikerahkan kelompok Islam.
Anggotanya adalah perkumpulan-perkumpulan Islam yang mendapat status legal dari pemerintah serta para kiai dan ulama yang mendapat rekomendasi dari Shumubu (Biro Urusan Agama).
Keputusan untuk memakai Masyumi sebagai nama partai diambil dalam Kongres Umat Islam pada 7-8 November di Gedung Madrasah Mu'alimin Yogyakarta.
Pada kongres itu pula, Sukiman Wirjdosandjojo terpilih sebagai ketua Pengurus Besar dan KH Hasyim Asy'ari sebagai ketua Majelis Syuro.
Dalam Anggaran Dasarnya, disebutkan bahwa Masyumi memiliki tujuan: terlaksananya ajaran dan hukum Islam dalam kehidupan orang-seorang masyarakat, dan negara Republik Indonesia, menuju keridaan Ilahi.
Selain organisasi yang telah berafiliasi sejak jaman penjajahan jepang, anggota Masyumi juga terdiri dari berbagai ormas Islam dan perorangan yang kemudian ikut bergabung.
Dualisme keanggotaan diperbolehkan dengan pertimbangan memperbanyak anggota.
"Agar Masyumi dapat dilihat sebagai wakil umat Islam tanpa ada yang merasa terwakili," tulis Deliar Noer dalam Partai Islam di Pentas Nasional.
Setelah menjadi partai, Masyumi mendirikan surat kabar harian Abadi pada tahun 1947. Surat kabar Abadi ini digunakan untuk menyampaikan pandangan Partai Masyumi tentang kehidupan bernegara di Indonesia.
Â
Advertisement
Pasang Surut Hubungan Masyumi dengan NU dan Muhammadiyah
Â
Meski demikian, sistem keanggotaan tersebut ternyata membuat Masyumi lapuk karena tak henti mengalami pertentangan internal, terutama antara kelompok sosialis-religius yang dipimpin Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara dan Mohammad Roem dengan kelompok konservatif dan golongan tua yang dipimpin Sukiman dan Jusuf Wibisono.
Kelak pertentangan-pertentangan tersebut juga membuat Masyumi terlihat bersikap mendua: menjadi partai oposisi tapi membiarkan anggotanya, atas nama perorangan, masuk dalam kabinet Sjahrir.
Tapi bukan karena masuknya para anggota mereka ke kabinet yang memunculkan perpecahan, melainkan sikap oposisi partai itu sendiri.
Kembali mengutip Wikipedia, Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi massa Islam yang sangat berperan dalam pembentukan Masyumi. Tokoh NU, KH Hasyim Asy'arie, terpilih sebagai pimpinan tertinggi Masyumi pada saat itu.
Tokoh-tokoh NU lainnya banyak yang duduk dalam kepengurusan Masyumi dan karenanya keterlibatan NU dalam masalah politik menjadi sulit dihindari.
Nahdlatul Ulama kemudian ke luar dari Masyumi melalui surat keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada tanggal 5 April 1952 akibat adanya pergesekan politik di antara kaum intelektual Masyumi yang ingin melokalisasi para kiai NU pada persoalan agama saja.
Hubungan antara Muhammadiyah dengan Masyumi pun mengalami pasang-surut secara politis dan sempat merenggang pada Pemilu 1955. Muhammadiyah pun melepaskan keanggotaan istimewanya pada Masyumi menjelang pembubaran Masyumi pada tahun 1960.