5 Batasan Bertunangan dalam Islam, Catin Wajib Tahu!

Sebagai suatu tradisi yang sudah mengakar di masyarakat, dalam proses bertunangan perlu diatur dan diberikan rambu-rambu agar tidak bertentangan dengan syariat Islam, berikut di antaranya.

oleh Putry Damayanty diperbarui 02 Sep 2024, 22:30 WIB
Diterbitkan 02 Sep 2024, 22:30 WIB
cincin pernikahan
Ilustrasi/copyright shutterstock.com

Liputan6.com, Jakarta - Bertunangan diartikan sebagai kesepakatan mengikat antara dua orang yang akan menjadi pasangan suami istri. Dengan kata lain tunangan adalah sebuah proses menjaga komitmen yang biasanya ditandai dengan saling bertukar cincin.

Dalam masa pertunangan biasanya kedua pasangan akan berjanji untuk menjaga hati dan tidak melirik pilihan lain, selagi ikatan tersebut belum terputus atau dilepas oleh salah satu pihak atau berdasarkan kesepakatan keduanya.

Ada beragam tradisi dalam bertunangan. Namun, secara umum keseluruhan rangkaian acara atau seremonialnya tidak jauh berbeda.

Akan tetapi, jika dikaitkan dengan ajaran Islam istilah tunangan ini kerap kali disamakan dengan khitbah. Padahal antara “tunangan” dan “khitbah” memiliki perbedaan yang cukup mendasar.

Khitbah merupakan proses melamar wanita yang akan dinikahi dalam waktu yang tidak terlalu lama dilanjutkan dengan proses pernikahan.

Lantas, adakah hak yang harus dipenuhi antara pasangan yang bertunangan? Berikut ulasannya melansir dari suaramuhammadiyah.id.

 

Saksikan Video Pilihan ini:

Khitbah dalam Islam

Ilustrasi menikah, pernikahan, wedding, Islami
Ilustrasi menikah, pernikahan, wedding, Islami. (Image by wirestock on Freepik)

Khitbah menurut syariat Islam adalah langkah penetapan atau penentuan sebelum pernikahan dilakukan dengan penuh kesadaran, kemantapan  dan ketenangan untuk menentukan pilihannya, sehingga tidak terlintas dalam benaknya untuk membatalkan pinangan tanpa ada faktor yang dibenarkan. Hal ini karena membatalkan pinangan dapat menyakiti perasaan wanita yang dipinang beserta keluarga besarnya, merusak kemuliaan dan nama baiknya, dapat memutuskan tali silaturrahim serta tidak sesuai dengan akhlak yang mulia (akhlaq karimah). Dengan demikian, khitbah merupakan sebuah proses pra nikah yang diperbolehkan dalam Islam.

Istilah khitbah dalam syariat Islam dapat ditemukan dalam beberapa hadis Nabi SAW., antara lain:

“Bahwa Ibnu Umar ra. [diriwayatkan] berkata, Nabi SAW. telah melarang sebagian kalian untuk berjual beli atas jual beli saudaranya, dan janganlah seseorang meminang atas pinangan orang lain sehingga ia meninggalkannya atau ia telah diberi izin oleh sang peminang pertama.” [HR. al-Bukhari].

Dalam hadis lain juga disebutkan pula:

“Dari al-A’raj [diriwayatkan] ia berkata; Abu Hurairah berkata; Satu warisan dari Nabi saw., beliau bersabda: Jauhilah oleh kalian prasangka, sebab prasangka itu adalah ungkapan yang paling dusta. Dan janganlah kalian mencari-cari aib orang lain, jangan pula saling menebar kebencian dan jadilah kalian orang-orang yang bersaudara. Janganlah seorang laki-laki meminang atas pinangan saudaranya sampai ia menikahinya atau meninggalkannya.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

Sedangkan praktik bertunangan dengan saling memakaikan cincin, saling pegangan atau bahkan dengan cium kening atau pipi pasangannya, dalam syariat Islam termasuk sesuatu yang dilarang, karena dua insan yang menjalin ikatan pertunangan maupun khitbah tetaplah sebagai pasangan yang belum diikat dengan pernikahan yang syar’i, sehingga mereka tidak bisa leluasa untuk melakukan berbagai tindakan sebagaimana layaknya pasangan suami-istri, seperti berduaan, berpegangan tangan, maupun hidup serumah.

Dengan demikian, ungkapan yang menyatakan bahwa “Seorang tunangan laki-laki mempunyai setengah kewajiban dari calon istrinya”, tentu merupakan pernyataan dan sikap yang tidak memiliki dasar sama sekali. Dengan ungkapan lain; bahwa orang yang bertunangan tidak memiliki kewajiban maupun hak untuk memberi dan mendapatkan nafkah baik lahir (sandang, pangan dan papan) maupun nafkah batin.

Namun jika yang dimaksudkan itu adalah kewajiban untuk menjaga janji atau kesepakatan bersama atau menjaga nama baik masing-masing pihak, maka itu merupakan kewajiban setiap orang yang menjalin perjanjian atau hubungan kerja sama (muamalah) selama hal tersebut tidak bertentangan dengan norma dan hukum agama. 

Ketentuan Bertunangan Sesuai Syariat

ilustrasi cincin pernikahan.
Ilustrasi cincin pernikahan. (iStockphoto)

Oleh sebab itu, sebagai sebuah tradisi yang dilakukan oleh sebagian masyarakat, bertunangan perlu diatur dan diberikan rambu-rambu atau ketentuan-ketentuan agar tidak bertentangan dengan syariat Islam, antara lain:

1. Laki-laki dan wanita yang menjalin ikatan pertunangan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum agama Islam, seperti bersentuhan, berduaan, atau tinggal serumah layaknya pasangan suami-istri serta berbagai tindakan yang dilarang oleh agama. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam hadis Nabi SAW:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ [رواه البخاري ومسلم].

“Dari Ibnu Abbas [diriwayatkan] dari Nabi saw., beliau bersabda: Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan perempuan kecuali dengan ditemani mahramnya” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

2. Hendaknya saling menjaga nama baik diri dan keluarga besar masing-masing pihak, dengan tidak menceritakan aib atau kekurangan pihak lain serta tidak melakukan berbagai tindakan dan pernyataan yang dapat merusak nama baik diri maupun keluarga besarnya.

عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ سَالِمًا أَخْبَرَهُ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ [رواه البخاري ومسلم].

“Dari Ibnu Syihab bahwa Salim mengabarkannya bahwa Abdullah bin Umar ra. mengabarkannya bahwa Rasulullah saw. bersabda: Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak boleh menzhaliminya dan tidak membiarkannya untuk disakiti. Barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya maka Allah akan membantu kebutuhannya. Barangsiapa yang menghilangkan suatu kesusahan seorang muslim, maka Allah menghilangkan satu kesusahan baginya dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi (aib) seorang muslim maka Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

3. Menjaga dan menepati janji yang telah diikrarkan di hadapan keluarga besarnya, karena melanggar janji merupakan perbuatan tercela dan termasuk ciri-ciri orang munafik.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ [رواه البخاري ومسلم].

“Dari Abu Hurairah [diriwayatkan] dari Nabi saw., beliau bersabda: Tanda-tanda munafiq ada tiga; jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari dan jika diberi amanat dia khianat” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

 

Ketentuan Lainnya

Ilustrasi pernikahan, menikah, Islami
Ilustrasi pernikahan, menikah, Islami. (Image by teksomolika on Freepik)

4. Pada prinsipnya, seseorang tidak boleh mengambil kembali barang yang telah diberikan kepada pihak lain, kecuali jika terjadi pengkhianatan terhadap kesepakatan yang telah diikrarkan sejak awal, hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW:عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الل

هُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَقِيءُ ثُمَّ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ [رواه البخاري ومسلم].

“Dari Ibnu Abbas ra. [diriwayatkan] dari Rasulullah SAW., beliau bersabda: Orang yang menarik (mengambil) kembali pemberiannya, seperti seekor anjing yang muntah dan memakan (menjilat) kembali muntahannya” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

5. Seseorang yang sudah berniat untuk menikah, sepatutnya segera menikah tanpa harus menunggu-nunggu atau menunda-nunda, baik dengan cara bertunangan atau sejenisnya untuk menghindari sesuatu yang dilarang oleh agama seperti berkhalwat (berdua-duaan), pegang-pegangan dan tindakan lain yang dilarang oleh agama.

عَنْ عَلْقَمَةَ قَالَ … لَقَدْ قَالَ لَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ [رواه البخاري ومسلم].

“Dari Alqamah [diriwayatkan] ia berkata: Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda kepada kita: Wahai sekalian pemuda, siapa di antara kalian yang telah mempunyai kemampuan menanggung beban pernikahan, maka hendaklah ia menikah, dan barangsiapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa karena hal itu akan lebih bisa meredakan gejolaknya” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

Namun jika hal tersebut dilakukan karena pertimbangan tertentu yang sangat vital, maka hendaknya dilaksanakan layaknya silaturrahim dua keluarga besar untuk menjalin sebuah komunikasi dan komitmen tentang masa depan hubungan anaknya sebelum melangkah ke pelaminan (ta’aruf), serta menghindari hal-hal yang dilarang oleh agama seperti berduaan (berkhalwat), tinggal serumah, berpegangan, maupun mengadakan kegiatan (seremonial) yang berlebihan (tabzir). Hal ini karena sesuatu yang disyari’atkan dalam konteks pernikahan adalah; khitbah untuk mengenal calon pasangan, akad nikah dan walimah, dan bukan dengan cara-cara yang tidak dituntunkan oleh agama serta membuka peluang terjadinya pelanggaran terhadap ajaran agama. Demikian jawaban dari kami terkait hal tentang bertunangan tersebut.

Wallahu a‘lam bish-shawab

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya