Liputan6.com, Cilacap - Tahlilan merupakan tradisi masyarakat muslim Indonesia. Tradisi tahlilan ini khususnya dilakukan oleh warga Nahdlatul Ulama (NU) dalam acara-acara tertentu, spesifiknya ketika ada orang yang meninggal dunia.
Sejatinya, menurut kiai nyentrik Asal Rembang, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha, tradisi ini sangat penting untuk dilakukan, khususnya saat terjadi musibah berupa kematian.
Advertisement
Bahkan menurut Gus Baha, Tahlilan atau Yasinan yang di dalamnya terdapat amalan-amalan seperti hadiah pahala bacaan surat Yasin, Surah al-Fatihah, dan Tahlil untuk si mayit telah diverifikasi dari ulama kelas internasional.
Advertisement
Adapun nama ulama internasioal sebagaimana disebut oleh santri Mbah Moen ini ialah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
Baca Juga
“Yang membolehkan hadiah Yasin, Fatihah, Tahlil ke mayit itu adalah orang sekaliber Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim,” terang Gus Baha sebagaimana dikutip dari tayangan YouTube Short @LenteraSantriIndonesia, Kamis (26/09/2024).
Simak Video Pilihan Ini:
Tradisi Internasional
Gus Baha menyayangkan sementara kalangan yang meyakini seakan-akan tahlilan ini budaya lokal. Padahal sebenarnya ulama kelas internasional sekaliber Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim menyetujuinya.
“Tapi karena kita tidak baca, seakan-akan tahlilan itu hanya tradisi lokal, yang tidak di acc, tidak disetujui ulama kelas internasional,” terangnya.
Dalam keterangannya, sebagaimana penuturan Gus Baha, Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa membaca Al-Qur'an untuk si mayit itu sangat penting.
“Padahal di sini jelas diceritakan, Ibnu Taimiyyah berpendapat, qiratul Quran yang dihadiahkan ke mayit atau tahlil itu sangat penting supaya orang itu pakai tradisi tadi,”.
Advertisement
Hukum Hadiah Pahala Bacaan kepada si Mayit
Di antara ulama yang membolehkan menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit adalah Syekh Ibnu Taimiyyah. Dalam kitab Majmu’ul Fatawa disebutkan:
وَأَمَّا الْقِرَاءَةُ وَالصَّدَقَةُ وَغَيْرُهُمَا مِنْ أَعْمَالِ الْبِرِّ فَلَا نِزَاعَ بَيْنَ عُلَمَاءِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ فِي وُصُولِ ثَوَابِ الْعِبَادَاتِ الْمَالِيَّةِ كَالصَّدَقَةِ وَالْعِتْقِ، كَمَا يَصِلُ إلَيْهِ أَيْضًا الدُّعَاءُ وَالِاسْتِغْفَارُ وَالصَّلَاةُ عَلَيْهِ صَلَاةُ الْجِنَازَةِ وَالدُّعَاءُ عِنْدَ قَبْرِهِ. وَتَنَازَعُوا فِي وُصُولِ الْأَعْمَالِ الْبَدَنِيَّةِ، كَالصَّوْمِ وَالصَّلَاةِ وَالْقِرَاءَةِ. وَالصَّوَابُ أَنَّ الْجَمِيعَ يَصِلُ إلَيْهِ
Dan adapun bacaan, sedekah, dan sebagainya, berupa amal-amal kebaikan, maka tidak ada perselisihan di antara para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah akan sampainya pahala ibadah harta, seperti sedekah dan pembebasan (memerdekakan budak). Sebagaimana sampai kepada mayit juga, pahala doa, istighfar, shalat jenazah, dan doa di samping kuburannya. Para ulama berbeda pendapat soal sampainya pahala amal jasmani, seperti puasa, shalat, dan bacaan. Menurut pendapat yang benar, semua amal itu sampai kepada mayit. (Lihat: Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyyah, Majmu’ul Fatawa, juz 24, h. 366).
Sebagian ulama mazhab Maliki yang lain menyatakan, pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah tidak sampai kepada mayit, karenanya hal itu tidak diperbolehkan. Syekh Ad-Dasuqi dari mazhab Maliki menulis:
قَالَ فِي التَّوْضِيحِ فِي بَابِ الْحَجِّ: الْمَذْهَبُ أَنَّ الْقِرَاءَةَ لَا تَصِلُ لِلْمَيِّتِ حَكَاهُ الْقَرَافِيُّ فِي قَوَاعِدِهِ وَالشَّيْخُ ابْنُ أَبِي جَمْرَةَ
Penulis kitab At-Taudhih berkata dalam kitab At-Taudhih, bab Haji: Pendapat yang diikuti dalam mazhab Maliki adalah bahwa pahala bacaan tidak sampai kepada mayit. Pendapat ini diceritakan oleh Syekh Qarafi dalam kitab Qawaidnya, dan Syekh Ibnu Abi Jamrah. (Lihat: Muhammad bin Ahmad bin Arafah Ad-Dasuqi, Hasyiyatud Dasuqi Alas Syarhil Kabir, juz 4, h. 173).
Dari paparan di atas, para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghadiahkan bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit. Mayoritas ulama meliputi ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’i, ulama mazhab Hanbali, dan Syekh Ibnu Taimiyyah membolehkannya. Sedangkan, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain melarangnya.
Penulis: Khazim Mahrur/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul