Liputan6.com, Jakarta - Sebagai umat Muslim, kita meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini, termasuk segala nikmat merupakan pemberian dari Allah SWT.
Nikmat itu banyak macamnya, seperti nikmat kesehatan, rezeki yang lancar, kebahagiaan dalam keluarga, pekerjaan yang bagus, pendidikan, atau bahkan hal-hal sederhana yang sering kali tidak kita sadari.
Advertisement
Kendati demikian, mungkin kita pernah menceritakan nikmat-nikmat tersebut kepada orang lain. Di satu sisi, kita merasa bahwa dengan menceritakan nikmat tersebut menjadi tanda syukur, sekaligus bisa memberi motivasi bagi orang lain.
Advertisement
Baca Juga
Namun di sisi lain, bisa jadi apa yang kita ceritakan dianggap sebagai bentuk kesombongan atau riya, yakni berusaha untuk menarik perhatian orang lain atau pamer.
Lantas, bagaimana sebaiknya kita menyikapi hal ini? Apakah menceritakan nikmat Allah itu diperbolehkan atau justru dilarang? Berikut penjelasannya dikutip dari NU Online Jatim.
Saksikan Video Pilihan ini:
Mensyukuri Nikmat Allah
Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nahl ayat 18:
وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَا ۗاِنَّ اللّٰهَ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Artinya: Jika engkau menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dalam tafsir Ibn Katsir dijelaskan, bahwa manusia tidak akan pernah mampu menghitung semua nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. Meskipun demikian, Allah tetap mengampuni dan menyayangi hamba-Nya.
Jika secara jujur kita memahami ayat ini, maka sesungguhnya manusia kerap merasa tidak cukup atas nikmat yang telah Allah berikan, sehingga yang muncul adalah selalu merasa tidak puas. Padahal Allah mengingatkan:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
Artinya: Adapun dengan nikmat Tuhanmu, maka hendaklah menyebutnya dengan bersyukur (QS. Ad-Duha:11)
Terkait dengan ayat ini, Imam Mujahid menafsirkan:
وقال مجاهد : يعني النبوة التي أعطاك ربك . وفي رواية عنه : القرآن
Artinya: Mujahid berkata, maksud nikmat itu adalah kenabian (nubuwwah) yang Allah berikan kepadamu (Muhammad), sedangkan dalam riwayat lain, Al-Qur'an.
Muhammad ibnu Ishaq berkomentar terkait makna ayat ini, bahwa apa yang telah diberikan oleh Allah kepadamu (Nabi Muhammad) berupa nikmat, kemuliaan dan kenabian, hendaklah engkau menyebut-nyebutnya dan ceritakanlah kepada orang-orang yang telah beliau percayai dari kalangan keluarganya secara diam-diam. Lalu diwajibkan ibadah sholat kepadanya, maka beliau mengerjakannya (menceritakan kepada keluarga).
Persoalannya, sebagian masyarakat memahami “fahaddis” sebagai ajang pembenaran untuk flexing (pamer). Lantas bagaimana tahaddus binnikmah yang ideal?
Advertisement
Cara yang Benar dalam Menceritakan Nikmat
Seperti diketahui bersama, ayat di atas ditujukan kepada Nabi Muhammad agar menceritakan nikmat kenabian (nubuwah), namun jika dipahami dalam konteks masyarakat kekinian, maka menceritakan nikmat yang berisi amal kebaikan kepada orang lain itu diperbolehkan selama tidak ada unsur bahaya bagi dirinya maupun orang lain.
Dikatakan bahaya bagi dirinya, sebab dengan menceritakan nikmat dapat memicu pamer (flexing) dalam dirinya. Sedangkan bahaya bagi orang lain, sebab dapat menimbulkan kedengkian orang lain atas nikmat yang ia dapatkan. Apalagi nikmat yang bersifat materi.
Dari sini, dapat ditarik benang merah, menceritakan nikmat kepada orang lain mempunyai dua sisi mata uang; menyebabkan pamer, menimbulkan iri orang lain. Solusi yang ideal adalah:
1. Menceritakan nikmat itu secukupnya saja
2. Diwujudkan dalam bentuk berbagi, misalkan jika nikmat itu berupa kesuksesan, maka, ajarkan tips untuk sukses kepada orang lain
3. Tidak menceritakan di hadapan orang yang memang terindikasi mudah iri dengki
4. Menceritakan nikmat itu tidak hanya berupa ucapan saja, akan tetapi bisa direalisasikan dengan aksi berbuat baik kepada orang lain.