Pasutri Boleh Bertengkar karena Hal Ini, Lho.. Apa Itu Us?

UAH mengatakan bahwa di balik pertengkaran suami istri ini tekandung hikmah yang sangat besar bagi keduanya

oleh Liputan6.com diperbarui 26 Jan 2025, 20:30 WIB
Diterbitkan 26 Jan 2025, 20:30 WIB
Ustadz Adi Hidayat atau UAH
Ustadz Adi Hidayat atau UAH. (Foto: Instagram @adihidayatofficial)... Selengkapnya

Liputan6.com, Cilacap - Ulama muda Muhammadiyah yang ahli dalam bidang Tafsir Al-Qur’an dan Hadits, Ustadz Adi Hidayat (UAH) membeberkan bahwa ketika pasutri bertengkar sejatinya merupakan hal yang biasa.

Biasanya pasutri bertengkar sebab perbedaan pendapat di antara keduanya. Namun ada penyebab yang membolehkan pasutri bertengkar.

UAH mengatakan bahwa di balik pertengkaran suami istri ini tekandung hikmah yang sangat besar bagi keduanya.

“Kalau suami istri ada perbedaan, istilahnya mau berantem kah, mau bertengkar kah itu kan biasa, pada akhirnya adalah mendapatkan hikmah dari itu semua,” terang UAH mengawali sebagaimana dikutip dari tayangan YouTube Short @nurislami, Sabtu (25/01/2025).

 

Simak Video Pilihan Ini:

Boleh Bertengkar karena Hal Ini

Ustadz Adi Hidayat atau UAH
Ustadz Adi Hidayat atau UAH. (YouTube Adi Hidayat Official)... Selengkapnya

Pendakwah asal Pandeglang Banten ini mengatakan bahwa suami istri boleh bertengkar dalam hal ketaatan yang tujuannya untuk mencari nilai kebaikan.

“Tapi jangan berantem bertengkar karena benci, bertengkarlah karena taat, mencari nilai kebaikan," ujarnya.

Sebab perbedaan pendapat dalam hal ketaatan akan cepat memperoleh titik temu dan terkandung banyak manfaat di dalamnya.

"Biasanya kalau orientasinya ketaatan kelembutan hatinya lebih cepat nantinya karena ada titik pertemuan,"

Namun, jika tujuannya saling mencari pembenaran antara keduanya maka mustahil perbedaan pendapat ini akan menemukan solusinya.

"Tapi kalau orientasinya mencari pembenaran itu sulit menemukan jalan keluar yang baik nantinya, maka saling mendoakan dulu,” tandasnya.

Solusi Terbaik jika Pasutri Bertengkar

Ilustrasi pasangan kekasih, marah, silent treatment
Ilustrasi pasangan kekasih, marah, silent treatment. (Photo created by yanalya on www.freepik.com)... Selengkapnya

Merangkum NU Online, Syekh ‘Abdurrahman ibn ‘Abdul Khalik al-Yusuf dalam Al-Zawâj fî Zhill al-Islâm (Kuwait: Daru al-Salafiyyah, 1988, cetakan ketiga, halaman: 166), mengemukakan, ada beberapa solusi yang ditawarkan kepada pasangan suami istri sebelum atau sewaktu menyelesaikan permasalahan dan perselisihan keluarga yang terjadi di tengah mereka. 

1. Jika suami atau istri ingin mencari solusi masalah dan perselisihan, hendaknya memposisikan diri sebagai orang yang berselisih dengan dirinya. Dengan begitu, ia akan mengetahui bagaimana seharusnya ia bersikap terhadap orang yang berselisih dengannya. Selain itu, juga harus mengetahui pangkal masalah atau sebab-sebab terjadinya. Barulah memutuskan jalan keluarnya. 

2. Suami harus mengetahui secara pasti bahwa pada diri istrinya ada tabiat untuk menyimpang. Ini merupakan tabiat penciptaan dan fitrah yang diberikan Allah kepadanya. 

3. Betapa banyak laki-laki yang dikaruniai istri yang lebih hebat, lebih cerdas, lebih sabar, dan lebih bijak pandangannya. Namun, ini tidak boleh mengubah kodrat dan kaidah umum tentang laki-laki dan perempuan. Ini tidak boleh dimaknai perempuan boleh dieksploitasi untuk kepentingan laki-laki. Bukan pula laki-laki harus menempati posisi istrinya, sebab ini akan merusak fitrah keduanya dan menghancurkan kebahagiaan rumah tangga.

4. Laki-laki memang diberi hak kepemimpinan. Sehingga ia adalah orang pertama yang menjadi pengayom dan pemimpin, baik bagi dirinya maupun bagi istrinya.   

5. Pergunakan cara-cara yang telah diberikan Allah dalam meluruskan kekurangan perempuan, yaitu: (1) menasihati dengan lemah lembut dan menggugah hati. Dilakukan pada waktu yang tepat dan kadar yang tepat pula. Sebab, jika dilakukan terus-menerus siang dan malam hanya akan menambah kebal orang yang dinasihati. Nasihat itu ibarat dosis obat. Dosis yang tepat bisa mengobati, dosisi yang berlebihan bisa merusak bahkan mematikan; (2) menjauhi tempat tidur istri bilamana cara pertama sudah tidak mampu.   

Selanjutnya, (3) memukulnya dengan pukulan yang tidak membahayakan. Artinya, hanya pukulan yang dapat melunakkan kerasnya hati sang istri, bukan menyakitinya, dan diyakini dapat mengubahnya menjadi lebih baik. Jika diperkirakan malah destruktif, cara ini mesti ditinggalkan; (4) meminta bantuan kepada juru damai dari kedua belah pihak (suami-istri). Ini merupakan jalan terakhir ketika cara-cara sebelumnya tidak mampu. Kedua juru damai itu tentunya harus mampu memahami duduk permasalahan suami-istri dan juga mumpuni untuk memecahkannya.

Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya