Asal Usul Nama 6 Tempat di Jakarta

Persinggungan banyak budaya menjadikan Jakarta kota yang unik, hal tersebut terlihat dari asal usul nama suatu tempat atau jalan.

oleh Liputan6 diperbarui 02 Nov 2015, 21:00 WIB
Diterbitkan 02 Nov 2015, 21:00 WIB
20151101- Bundaran HI-Jakarta
Air mancur Bundaran HI sebagai satu di antara land mark Indonesia dan Ibu Kota akan kembali dipercantik, Jakarta, Minggu (1/11/2015). Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta berencana menata ulang air mancur pada awal 2016. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta Pemberian nama tempat biasanya mengandung sebab dan maksud tertentu. Banyak aspek yang digunakan untuk memberikan nama pada suatu tempat, misal topografi atau keadaan alam tempat tersebut, hingga etnis dominan yang bermukim di daerah tersebut.

Jakarta merupakan kota besar dengan sejarah yang panjang. Persinggungan beraneka budaya, profesi, agama, dan etnisitas membuat Jakarta menjadi kota yang unik, termasuk pada penamaan suatu tempat. Mengutip buku ‘Asal Usul Nama Tempat di Jakarta’ karya Rachmat Ruchiat, Senin (2/10/2015), berikut 6 asal usul nama tempat dan jalan di Jakarta yang menarik untuk disimak.

Glodok
Terdapat banyak versi tentang asal usul nama Glodok. Salah satu versi mengatakan bahwa ‘Glodok’ merupakan anomatope atau tiruan bunyi dari suara kucuran air dari pancuran. Sekitar tahun 1670 terdapat waduk penampungan air dari Sungai Ci Liwung yang dikucurkan dengan pancuran kayu dari ketinggian sekitar 10 kaki. Kata ‘grojok’ diucapkan oleh orang-orang Tionghoa totok menjadi ‘Glodok’ sesuai dengan lidahnya.

Sementara versi lain menyebutkan bahwa kata ‘Glodok’ diambil dari nama jembatan besar yang melintas di Kali Besar bernama Jembatan Glodok. Disebut demikian karena dulu di ujungnya terdapat tangga-tangga menempel pada tepi kali yang dibuat pada 1643. Tangga tersebut digunakan untuk mandi dan mencucui oleh penduduk sekitar. Dalam bahasa Sunda, tangga ini disebut dengan ‘Golodok’. Mandi di kali pada zaman itu bukan hanya menjadi kebiasaan masyarakat pribumi, tetapi juga sudah menjadi kebiasaan umum penduduk Batavia, termasuk orang-orang Belanda.

Cawang

Cawang

Asal usul nama ‘Cawang’ diyakini berasal dari nama seorang letnan Melayu yang mengabdi pada Kompeni bernama Enci Awang. Enci Awang bermukin di tempat tersebut bersama pasukan yang dipimpinnya. Lama-kelamaan sebutan Enci Awang berubah menjadi ‘Cawang’. Letnan Enci Awang yang diyakini awalnya bernama Anwar merupakan bawahan dari Kapten Wan Abdul Bagus yang pasukannya bermukim di kawasan yang yang sekarang dikenal dengan Jatinegara.

Lebak Bulus

Lebak Bulus

Nama lebak Bulus diyakini diambil dari kontur tanah dan fauna. Lebak berarti lembah, sedangkan bulus adalah kura-kura yang hidup di darat dan air tawar. Ada kemugkinan Kali Grogol dan kali Pesanggrahan yang mengalir di kawasan tersebut terdapat banyak bulus.

Ragunan

Ragunan

Nama Ragunan berasal dari Pangeran Wiraguna, yaitu gelar yang disandang tuan tanah pertama di kawasan itu, Hendrik Lucaasz Cardeel, yang diperolehnya dari Sultan Banten Abunasar Abdul Qahar atau yang dikenal dengan Sultan Haji. Atas jasanya kepada Sultan Haji, Cardeel diangkat menjadi Pangeran Wiraguna dan berhak atas sejumlah hektar tanah.

Beberapa tahun kemudian, Pangeran Wiraguna merasa Kesultanan Banten sangat sempit, karena banyak yang tidak menyukainya. Pada 1689, Cardel memutuskan untuk pergi dari Kesultanan Banten dan memutuskan untuk kembali ke negeri asalnya. Namun ternyata dia menetap di Batavia menjadi tuan tanah yang kaya raya. Tanahnya yang luas kini diberi nama Ragunan, yang mengingatkan kita pada Pangeran Wiraguna. Di kawasan ini pula ia dimakamkan, dan makamnya dikeramatkan oleh sebagian orang.

Senen

Senen

Nama Senen diambil dari sebutan pasar yang dibangun oleh Justinus Vinck, di ujung sebelah selatan jalan Gunung Sahari, yang dahulu bernama Grote Zuiderweg. Namun karena pasar ini awalnya hanya aktif pada hari Senin, maka disebut dengan Pasar Senen. Berkat kemajuan dan semakin ramai pengunjung, mulai 1766, pasar ini dibuka juga pada hari-hari lainnya.

Pada awalnya Pasar Senen hanya terdiri atas gubuk-gubuk. Hingga pada 1815 di pasar ini masih terdapat rumah-rumah dari gedek. Menurut catatan sejarah, pada 9 Juli 1826, sebagian besar Pasar Senen sempat terbakar dan dibangun kembali dengan tembok.

Senayan

Senayan

Pada peta yang diterbitkan Topographisch Bureau Batavia, tahun 1902, kawasan Senayan masih ditulis dengan nama Wangsanajan atau Wangsanayan. Kata Wangsanayan berarti ‘tanah tempat tinggal atau tanah milik seseorang yang bernama Wangsanaya’. Nama Wangsanayan lambat laun berubah menjadi senayan.

Den Haan menyebut ada seseorang asal Bali, berpangkat letnan yang hidup sekitar tahun 1680. Tidak mustahil, orang tersebut adalah Wangsanaya. Belum ditemukan keterangan lebih lanjut dari tokoh tersebut, demikian pula tentang sejarah yang berkaitan dengan kawasan yang sekarang dikenal dengan nama Senayan itu. (Ibo)

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya