Alasan Mereka Pilih Uber dan Grab daripada Taksi Konvensional

Ini alasan konsumen berpindah dari taksi konvensional ke Uber atau Grab.

oleh Unoviana Kartika Setia diperbarui 14 Mar 2016, 19:50 WIB
Diterbitkan 14 Mar 2016, 19:50 WIB
Uber Taxi
Ini alasan konsumen berpindah dari taksi konvensional ke Uber atau Grab.

Liputan6.com, Jakarta Persatuan Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) berunjuk rasa di depan Balai Kota DKI Jakarta pada Senin (14/3/2016). Mereka menyampaikan protes atas maraknya angkutan umum pelat hitam yang difasilitasi oleh perusahaan jasa aplikasi. Menurut mereka, jasa pelayanan transportasi pelat hitam Uber dan Grab yang merebut lahan mereka.

Tak dipungkiri, Uber dan Grab sudah menjadi fenomena sendiri di tengah masyarakat. Berbondong-bondong orang mulai meninggalkan taksi konvensional dan beralih ke layanan Uber dan Grab.

Bukannya tanpa alasan. Pelayanan yang diberikan oleh dua jasa transportasi itu dinilai konsumen lebih baik dengan harga yang mampu bersaing.

Salah satu pelanggan Grab Car Nilam (31) mengatakan, alasan ia beralih dari taksi konvensional ke jasa transportasi berbasis aplikasi adalah seringnya dirinya menerima penolakan dari taksi konvensional.

"Alasannya pasti bilang mau pulang, makanya nggak mau nganter ke daerah BSD (Bumi Serpong Damai. Mungkin kejauhan kali ya. Padahal mereka ngetem-ngetem di PIM (Pondok Indah Mal)," ujarnya kepada Liputan6.com.

Pelat Kuning vs Pelat Hitam

Tak hanya itu, jarak terlalu dekat pun terkadang menjadi alasan taksi konvensional untuk menolak. Pernah suatu hari ibu dua anak itu sedang hamil tua dan ingin naik taksi.

"Tapi karena jaraknya dekat, sopirnya bilang supaya saya naik ojek saja. Saya kesal saat itu, akhirnya sekarang saya lebih suka naik taksi aplikasi karena sudah pasti mau, dekat atau jauh," kata pengusaha lipstik ini.

Sama seperti Nilam, Aditya (28) pun sekarang lebih suka menggunakan jasa transportasi berbasis aplikasi. Sebab, biasanya sopirnya sudah paham daerah-daerah tujuan dengan bantuan GPS.

"Kalau taksi konvensional rata-rata belum memanfaatkan GPS, maunya diarahkan. Padahal saya nggak nyaman kalau harus mengarahkan, mereka kan seharusnya sudah tahu. Kalau memang nggak tahu, harusnya bisa dong pakai GPS," kata pria ini.

Apapun alasan migrasi konsumen ke jasa transportasi berbasis aplikasi merupakan bukti bahwa persaingan keduanya semakin ketat. Untuk tetap bisa bersaing, keduanya perlu menyediakan transportasi yang mudah, murah, sekaligus nyaman. 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya