Kisah Eric Larsen, Penjelajahan Terakhir ke Kutub Utara

Di tengah ancaman mencairnya es akibat pemanasan global, ekspedisi menjelajahi Kutub Utara tidak akan bisa dilakukan lagi di masa depan.

oleh Ahmad Apriyono diperbarui 28 Nov 2016, 13:30 WIB
Diterbitkan 28 Nov 2016, 13:30 WIB

Liputan6.com, Jakarta Di tengah ancaman mencairnya es di Kutub Utara, Eric Larsen seorang penjelajah profesional memutuskan untuk kembali mengunjungi keindahan Kutub Utara. Meski dirinya pernah dua kali melakukan ekspedisi ke kawasan paling dingin di muka bumi tersebut, Eric Larsen merasa ekspedisi ini suatu hal yang penting.

“Pada kenyataannya, ekspedisi ini tidak akan mungkin dilakukan lagi di masa depan. Ini adalah hal yang paling menyedihkan untuk mengetahui bahwa Anda mungkin akan menjadi yang terakhir orang yang mengunjunginya,” kata Larsen, seperti dikutip dari laman Weather, Senin (28/11/2016).

Bersama dengan rekannya, Ryan Waters, Eric Larsen memulai perjalanan dari Pulau Ellesmere di Nunavut, Kanada. Menempuh jarak hingga 500 mil, kedua penjelajah ini berhasil sampai ke Kutub Utara dengan membawa perbekalan yang ditarik menggunakan ‘kereta’ kecil.

Bagi keduanya, ekspedisi ini bukan suatu yang enteng. Larsen dan Waters telah melakukan persiapan fisik dan latihan selama satu tahun sebelum melakukan ekspedisi ini. Sebelumnya Larsen dan Waters telah menbuka kesempatan untuk satu orang lagi untuk ikut ekspedisi ini, namun tidak ada satu orang pun yang berani berkomitmen untuk melakukan penjelajahan ‘gila’ ini.

Samudera Arktik menjadi ujian paling keras dalam penjelajan. Menjadi tempat terdingin dengan angin terkencang di bumi, Larsen dan Waters harus bisa bertahan dalam kondisi paling ekstrem sekali pun. “Kami berpergian dengan kesempatan untuk hidup yang sempit, maka kami perlu menjaga keselamatan dan harus selalu waspada,” ungkap Larsen.

foto: weather

Menempuh jarak dengan kondisi iklim yang ekstrem bukan satu-satunya rintangan, ada cobaan lain yang perlu dihadapi Larsen dan Waters selama penjelajahan menyusuri daratan paling dingin di dunia. “Rintangan lain ada dua beruang kutub yang terus menguntit perjalanan kami,” kata Larsen. Bahkan keduanya hampir kehabisan makanan dan bahan bakar. Persediaan perbekalan terus berkurang sementara kondisi cuaca yang mereka lalui semakin ekstrem.

foto: weather

“Pada iklim 30 sampai 40 derajat di bawah nol, bahan nilon bisa robek seperti selembar kertas, dan pancang tenda bisa berubah menjadi ranting kering yang mudah patah,” kata Larsen menceritakan. Ekspedisi ini membuat Larsen dan Waters memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap lingkungan. Saat dirinya kembali ke rumah, hal yang pertama kali dilakukan Larsen adalah memeluk istri dan anaknya.

foto: weather

Namun demikian, seorang petualang bagi Larsen tidak akan betah terlalu lama di rumah. Setelah berhasil melakukan penjelajahan ke Kutub Utara dan menuliskannya menjadi kisah yang menarik dalam bukunya yang berjudul On Thin Ice: An Epic Final Quest into the Melting Arctic, dirinya tengah merencanakan penjelajahan berikutnya, yaitu ekspedisi ke Mongolia dan Nepal.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya