Dive Site World War II Wrecks, Wisata Selam Terpopuler di Morotai

Dive Site World War II Wrecks sering membuat banyak penyelam penasaran untuk melihat sisa-sisa peralatan perang dunia II.

oleh Liputan6 diperbarui 11 Des 2016, 16:37 WIB
Diterbitkan 11 Des 2016, 16:37 WIB
Dive Site World War II Wrecks, Wisata Selam Terpopuler di Morotai
Dive Site World War II Wrecks sering membuat banyak penyelam penasaran untuk melihat sisa-sisa peralatan perang dunia II.

Liputan6.com, Jakarta Pulau Morotai punya 30 lebih situs menyelam, tapi yang sangat populer adalah situs selam bangkai peralatan Perang Dunia II atau yang dikenal dengan sebutan Dive Site World War II Wrecks.

Penyelam yang dua atau tiga kali menjelajah situs ini menyebutnya museum perang bawah laut, yang membuat banyak penyelam penasaran. Akibatnya Dive Site World War II Wrecks sedemikian populer. Banyak bangkai peralatan perang di situs ini. Mulai dari jeep, truk, dan pesawat tempur. Jumlahnya tak terhitung, karena luas situs selama cukup besar.

Jika cuaca cerah, penyelaman pagi hari sangat baik. Jarak pandang mencapai 20 meter. Namun, penyelam harus mencapai jarak 30 meter lebih untuk menemukan bangkai-bangkai perangkat Perang Dunia II. Pada kedalaman ini yang terlihat adalah truk dan jeep. Lebih ke dalam lagi, sekitar 45 meter, terdapat bangkai pesawat tempur; pembom dan fighter.

Seluruhnya telah berselimut karang dan menjadi rumah biota laut. Ikan-ikan hilir mudik keluar dan masuk bagian pesawat. Sebelum menyelam, ada baiknya mencari tahu perangkat perang yang digunakan Jenderal Douglas McArthur untuk menyerang Jepang di Filipina selama Perang Dunia II. Ini penting agar kita bisa mengindentifikasi bangkai pesawat di kedalaman.

Salah satu bangkai pesawat yang terdapat di kedalaman Morotai adalah Bristol Beaufort. Australia mengerahkan Bristol Beaufort sebagai bagian 3.000 pesawat sekutu untuk menggempur Jepang di Filipina.

Bristol Beaufort adalah pembom dan pembawa torpedo, bermesin dua, berawak empat orang, dan mampu terbang dengan kecepatan 400 kilometer per jam dengan menggendong semua senjata. Ada senapan mesin di moncong, untuk melindungi pesawat dari serangan fighter Jepang.

Ada pula Bristol Beaufighter. Yang ini bukan bomber, tapi fighter. Beaufighter bertugas mengawal pembom dari serangan Mitsubishi A6M Zero yang dioperasikan Jepang. Pilot Jepang menujuluki Beaufighter sebagai whispering death, karena mesinnya halus.

Amunisi berserakan di lantai pasir sekitar pesawat. Laras senapan masih utuh, kendati berselimut karang, dan baling-baling yang copot. Semua begitu menarik untuk diabadikan dengan kamera, atau didokumentasikan ke dalam film.

Dari Daruba, ibu kota Kabupaten Morotai, situs selam bangkai Perang Dunia II hanya berjarak 15 menit perjalanan dengan kendaraan roda empat. Lokasi situs di lepas pantai Desa Wamama.

Sepanjang perjalanan pengunjung masih bisa melihat bekas landas pacu pesawat tempur, yang sekujurnya ditumbuhi belukar dan pepohonan. Dulu, orang masih melihat banyak bangkai kapal di pinggir landasan, kini tidak ada lagi. Penduduk mencincang bangkai kapal itu satu per satu.

Morotai, satu dari 10 Top Destinasi Pariwisata dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata, adalah situs sejarah Perang Dunia II yang terlupa. Di Morotai, Jenderal McArthur menggempur Jepang di Filipina dan mengubah sejarah perang.

Usai perang, dan McArthur memenuhi janji kembali ke Filipina, Morotai terlupa. Pulau di Halmahera Utara, Kepulauan Maluku ini kembali naik daun ketika Teruo Nakamura, prajurit Jepang yang menolak menyerah, ditangkap penduduk dan dipulangkan.

Tidak ada prajurit dari Australia, AS, dan Jepang, menggelar acara mengenang Pertempuran Morotai. Beberapa prajurit AS yang pernah bertugas di pulau ini hanya membuat buku. Salah satunya John Boeman, pilot pembom B-24, menulis Morotai: A Memoir of War.

Semua yang terlibat dalam perang di Morotai boleh saja lupa, tapi tidak pemerintah Indonesia. Tahun 2014, pemerintah menetapkan Morotai sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK) pariwisata lewat , lewat PP No 50 tahun 2014, dengan PT Jababeka Morotai sebagai pengelola kawasan seluas 1.101,76 hektar.

Pemerintah membangun bandara internasional dan infrastruktur lainnya. Pada 18 Maret 2016, Morotai, kali pertama sejak akhir Perang Dunia II, didarati pesawat 18 kursi. Wings Air melakukan terobosan dengan mengoperasikan pesawat ATR-72 kapasitas 70 kursi.

Namun Bandara Morotai butuh perpanjangan landas pacu menjadi 3.000 meter agar bisa didarati pesawat berbadan besar. Artinya, Morotai harus memiliki bandara internasional.

PT Jababeka Morotai akan membangun seribu unit homestay dan toilet sampai 2017, 3.000 unit pada tahun 2018, dan 6.000 unit tahun 2019. Bank Tabungan Negara Tbk akan memberikan kredit lunak kepada masyarakat untuk pembangunan homestay.

Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya mengatakan akan ada beberapa nama besar yang berkomitmen menanamkan modal di Morotai. Kabar lain menyebutkan investor Taiwan juga tertarik membangun amenitas. Meski masih dalam taraf pembangunan, Morotai punya target kungan wisman dari tahun ke tahun. Tahun 2015, misalnya, Morotai dikunjungi 1.000 wisman. Tahun 2016, Morotai ditargetkan dikunjungi 2.750 wisman.

"Tahun 2017, saat amenitas dan akses terbangun, Morotai diharapkan mendapat kunjungan 11.000 wisman, dan 60 ribu pada tahun 2018, dan 500 ribu pada tahun 2019," kata Arie Suhendro, ketua Kelompok Kerja (Pokja) Destinasi Prioritas Pulau Morotai.

Kemenpar terus mempromosikan Morotai ke luar negeri. Di dalam negeri, Wonderful Morotai diharapkan meningkatkan jumlah kunjungan wisman. Sebagai museum Perang Dunia II, Morotai dipastikan tidak lagi terlupa.

(Adv)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya