Benarkah Malas Jalan Kaki Jadi Gaya Hidup Orang Jakarta?

Data yang baru-baru ini dirilis Stanford University mengungkap, Indonesia berada di urutan pertama sebagai negara termalas berjalan kaki.

oleh Ahmad Apriyono diperbarui 22 Agu 2017, 09:00 WIB
Diterbitkan 22 Agu 2017, 09:00 WIB
20161121-Trotoar Tanah Abang Kini Bersih dan Asri-Jakarta
Seorang warga melintasi trotoar di Jalan Jatibaru Raya, Tanah Abang, Jakarta, Senin (21/11). Meskipun belum sepenuhnya selesai, namun trotoar yang dulu dipenuhi PKL tersebut kini telah berubah menjadi bersih dan asri. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta Data yang baru-baru ini dirilis Stanford University mengungkap, Indonesia berada di urutan terakhir dari 46 negara yang terdaftar paling rajin berjalan kaki. Hong Kong didaulat menjadi negara dengan jumlah pejalan kaki terbanyak di urutan pertama, disusul Tiongkok di urutan dua, Ukraina, Jepang, dan Rusia di urutan berikutnya.

Temuan ini kemudian memunculkan pertanyaan, benarkah orang Indonesia, khususnya orang-orang di kota-kota besar, seperti Jakarta misalnya, merupakan orang-orang yang malas berjalan kaki, sehingga punya kendaraan pribadi dianggap gaya hidup terkini jika ingin tinggal di Jakarta?

Alfred Sitorus, Ketua Koalisi Pejalan Kaki saat dihubungi Liputan6.com, Senin (21/8/2017) menampik hal ini. Baginya “kemalasan” orang Jakarta untuk berjalan kaki merupakan persoalan hilir, karena permasalahan di hulu tidak tergarap.

“Hulunya tidak tergarap, pemerintah tidak menyediakan kendaraan umum yang baik, dalam artian kebutuhan akan kendaraan umum belum terpenuhi secara total. Akhirnya masyarakat umum memilih kendaraan pribadi,” ungkap Alfred.

Menurut Alfred, masyarakat Jakarta tidak banyak pilihan lain dalam mobilitas sehingga membuat orang lebih memilih pakai kendaraan pribadi, yang kemudian ini menjadi lifestyle atau gaya hidup pada masyarakat Indonesia, orang Jakarta khususnya.

“Rasa malas itu kan hilirnya, sebenernya hulunya tidak tergarap, ya itu tadi salah satunya ketimpangan masyarakat dalam bermobilisasi,” kata Alfred.

Bagi Alfred, faktor lain yang juga mempengaruhi mengapa orang Jakarta malas jalan kaki adalah fasilitas transportasi yang tidak terintegrasi dengan pejalan kaki.

“Contoh yang paling gampang itu trotoar tidak terhubung dengan fasilitas transportasi, akhirnya orang memilih pakai kendaraan pribadi daripada repot jalan di trotoar yang putus-putus,” kata Alfred.

Selain tidak nyaman, pedestrian di Jakarta juga dianggap tidak aman dan jauh dari kata nyaman. Selain kerap disulap menjadi tempat parkir tukang ojek dan menjadi lapak pedagang kaki lima, hingga selalu menjadi korban pembangunan, pedestrian juga sering diserobot pengendara motor yang ingin menghindari macet.

Alfred mengharapkan, pemerintah perlu membuat rencana induk pembangunan trotoar yang lebih baik, dengan memprioritaskan daerah-daerah yang banyak digunakan para pejalan kaki.

“Membangun trotoar juga ada tekniknya, bukan asal-asalan, terintegrasi satu dengan lainnya, jangan berpindah-pindah,” ungkap Alfred.

Alfred Sitorus sendiri menegaskan, malas jalan kaki bukanlah gaya hidup orang Indonesia, orang Jakarta khususnya. Menurutnya, masih banyak orang Jakarta yang mau berjalan kaki. Namun sangat sedikitnya pilihan dalam bermobilitas, membuat orang Jakarta lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi ketimbang harus repot menghadapi pedestrian yang tidak ramah.

Simak juga video menanrik berikut ini:

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya