Menyimak Cerita 3 Korban Pemerkosaan yang Berani Buka Suara

Dengan ragam alasan dan kisah pilu, deretan korban pemerkosaan ini akhirnya berani buka suara dan menceritakan pengalaman kelam mereka.

oleh Asnida Riani diperbarui 09 Nov 2018, 11:15 WIB
Diterbitkan 09 Nov 2018, 11:15 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi korban pemerkosaan. (dok. unsplash.com/Asnida Riani)

Liputan6.com, Jakarta - Sebagai negara penganut budaya ketimuran, seks masih jadi topik yang tabu hingga hari ini di Indonesia, walau sudah banyak edukasi tentangnya. Kultur ini kemudian secara tak langsung berdampak pada para korban pemerkosaan.

Dari banyak cerita yang mungkin sudah pernah Anda simak, mereka yang sudah 'tidak suci' ini sering kali dianggap sebagai aib, hingga eksistensinya diharap menghilang saja. Padahal, apakah mereka memilih menjadi korban pemerkosaan? Tentu tidak.

Sementara di Indonesia masih belum nyaring terdengar, sejumlah perempuan di berbagai belahan dunia mulai terbuka soal fakta mereka pernah jadi korban pemerkosaan. Dari sekian banyak, berikut beberapa kisah yang mungkin bisa memberi inspirasi.

Dari perempuan yang sudah diperkosa 43.200 kali

Adalah Karla Jacinto, gadis yang dengan berani buka suara soal ia pernah diperkosa sebanyak 43.200 kali dalam salah satu wawancara sekitar 3 tahun lalu. Terlepas dari dunia kelam, sebagaimana dikutip dari independent.co.uk, Jumat (9/11/2018), Karla ingin keliling dunia untuk menyelamatkan orang lain yang bernasib seperti dirinya, namun tak tahu harus mencari pertolongan ke mana.

Betapa pilu masih dirasa ketika Karla dengan gamblangnya berkisah tentang ia yang terjebak dalam industri perdagangan seks di Meksiko dan memperkirakan telah diperkosa sebanyak 43.200 kali di rentang usia 12 hingga 16 tahun. Trauma dan deras air mata yang mengiringi tiap kata yang keluar kini ingin ditebus Karla.

Ia mengisahkan pilu masa lalu dan perjuangan untuk keluar dari lingkaran seks yang membuatnya diperkosa puluhan ribu kali dalam pidato publik di negara-negara berbeda di seluruh dunia. Juli 2016 silam, Karla telah menyampaikan kisahnya pada Pope Francis di Vatikan dalam konferensi perbudakan di era modern.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Biarkan Korban Pemerkosaan Bersuara

Ilustrasi
Ilustrasi korban pemerkosaan. (dok. unsplash.com/Asnida Riani)

Joanna Willams berusia 24 tahun ketika tiba untuk program internship dengan Australian Defence Abuse Response Taskforce. Setiap hari selama 2 bulan selanjutnya, Joanna terus membaca dampak psikologi dari para korban kekerasan yang menimpa tentara angkatan darat Australia.

Ia kemudian menemukan kecocokan pada kasus pemerkosaan dirinya yang tak pernah diungkapkan pada siapapun. "Saya tahu saya mengalami pelecehan seksual di usia 20 tahun-an. Tapi, saat membaca kisah pada korban pemerkosaan, saya sadar kalau dampaknya juga terjadi pada saya," tuturnya seperti dikutip dari news.com.au, Jumat (9/11/2018). 

Dari situ, Joanna beranggapan harus ada perubahan. "Saya mulai memberitahu kebenarannya pada orang di sekitar saya. Tidak hanya bagaimana saya diperkosa, tapi juga tentang bagaimana biasanya kekerasan seksual dulunya ada di hidup saya," tutur Joanna.

Selama beberapa bulan ke depan setelahnya, cerita ini terus dikisahkan Joanna ke lusinan anggota keluarga dan teman. Tapi, mengungkap identitasnya sebagai korban pemerkosaan tentu jauh dari kata mudah.

"Berbicara pada teman dan keluarga memang sulit, namun yang menakutkan adalah saat bersaksi di jejaring sosial lebih besar. Tapi, saya ingin berbicara karena saya ingin yang lain tahu kalau meraka tak sendiri. Mengunggah status tersebut di Facebook adalah satu dari sekian banyak momen menakutkan di hidup saya," katanya.

Tapi, setelah beberapa lama terunggah, posting-an tersebut menerima lebih dari 200 likes dan kotak pesannya langsung penuh dukungan, bahkan cerita dari mereka yang ternyata juga pernah bernasib serupa.

Feedback ini membuat Joanna terus angkat bicara dan menggalakkan kampane Red My Lips, di mana mengundang publik untuk memakai lipstik merah selama satu bulan untuk membangkitkan kesadaran tentang kekerasan seksual dan bagaimana sosial menyalahkan si korban.

"Secara tidak langsung tidak membiarkan pada korban pemerkosaan bercerita di jejaring sosial, teman, keluarga, bahkan praktisi kesehatan seolah kesehatan mental kami tidak berari. Bahkan, korban harus malu dengan takdir yang dipilihkan oleh pelaku," ujar Joanna.

Keberanian mengungkap lembaran kelam itu didasari agar Joanna dan para korban pemerkosaan tak perlu malu untuk memberitahu kisah mereka, bahkan kalau perlu, mencari pertolongan untuk mengembalikan stabilitas psikologi pasca-trauma.

Berupaya Memperkecil Angka Pemerkosaan

Ilustrasi
Ilustrasi korban pemerkosaan. (dok. unsplash.com/Asnida Riani)

Brenda Tracy diperkosa empat lelaki, di mana dua di antaranya merupakan pemain sepak bola di Corvallis, Oregon, Amerika Serikat pada 1998 ketika ia berusia 24 tahun. Brenda sempat mempermasalahkan peristiwa ini secara hukum, namun ia pikir itu tak cukup kalau kejadian serupa nantinya terus berulang.

Brenda berbicara terbuka pada publik pertama kali di tahun 2014 lewat oregonlive.com. Pada 2016, Brenda menyambangi sejumlah kampus di seantero negeri untuk berbagi ceritanya dengan murid yang aktif sebagai atlet dengan harapan menginspirasi perubahan.

Hingga, sebagaimana dikutip dari mlive.com, Jumat (9/11/2018), ia kemudian bericara kepada tim sepak bola Michigan pada awal Agustus lalu, menjelaskan secara detail bagaimana kejadiaan nahas itu menimpa. Brenda tampak emosional di beberapa bagian, namun ia tetap bercerita demi isu humanis.

Ia tak hanya berbicara tentang pemerkosaan, namun juga kekerasan domestik, depresi, dan keinginan untuk bunuh diri. Ia melihat para pemain dan memberi tahu kalau mereka bukan masalah, namun solusi dengan melakukan perubahan.

Kini, Brenda aktif berbicara pada individu, sekolah, maupun kampus untuk memberi edukasi dan terus menginspirasi dengan harapan di akhir 'hari', angka pemerkosaan bisa terus mengecil, bahkan menghilang sama sekali.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya