Cerita Akhir Pekan: Masa Depan Teater Koma

Meski sudah punya nama, bukan jaminan bagi Teater Koma untuk bisa lanjutkan karya di masa depan. Tak terbayang nasib kelompok-kelompok teater yang kecil.

oleh Komarudin diperbarui 24 Mar 2019, 08:30 WIB
Diterbitkan 24 Mar 2019, 08:30 WIB
Teater Koma
Pementasan Mahabarata: Asmara Raja Dewa oleh Teater Koma. (Liputan6.com/Putu Elmira)

Liputan6.com, Jakarta - Dunia teater tetap tumbuh di Indonesia, meski penuh perjuangan. Tak hanya apresiasi yang kurang dari masyarakat, perhatian pemerintah pada komunitas-komunitas teater pun terbilang minim.

"Saya nggak berani bicara perkembangan teater di Indonesia. Saya hanya bisa bicara kondisi dunia teater di Jakarta. Karena untuk mendatangkan penonton saja, perlu kerja keras," kata pimpinan produksi Teater Koma, Ratna Riantiarno, saat dihubungi Liputan6.com, Kamis sore, 21 Maret 2019.

Selain penonton, lanjut Ratna, kerja keras lain adalah soal tiket. Untuk menjual tiket dengan harga Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu pun bukan hal mudah.

"Di daerah malah tiket untuk menonton teater dijual Rp 10 ribu, itu pun susah. Mereka tertarik menonton pada teater-teater yang sudah punya nama," ungkap istri pimpinan Teater Koma, Nano Riantiarno.

Di Jakarta, ada Teater Koma yang terus menjaga dan memupuk penonton agar bisa menonton. Para penonton Teater Koma, misalnya, orang-orangnya yang sudah biasa. Itu pun bukan hal mudah agar mereka bisa menonton Teater Koma lagi.

"Alasannya karena mereka sudah menonton, ada juga karena jaraknya jauh karena sudah pindah rumah. Jadi, persaingannya semakin gila, karena ada YouTube, televisi. Kehadiran televisi membuat orang makin mudah untuk mengganti chanel yang mereka inginkan," jelas Ratna yang juga menyebutkan perlu ada sponsor.

"Sponsor itu bisa dari pemerintah dan pihak lain yang peduli terhadap dunia teater," sambung Ratna.

Melihat perkembangan yang ada, Ratna secara tegas mengatakan tak bisa orang mengandalkan hidup dari teater. Baginya, mengelola teater bukan kerja, tapi untuk memperkaya batin dalam diri pemainnya.

"Saya sendiri sempat bekerja di perusahaan, sedangkan Mas Nano bekerja sebagai pemimpin redaksi di sebuah media. Dengan kondisi itu, pasang iklan di koran atau di televisi itu nggak mungkin," ujar Ratna Riantiarno.

Sampai Door to Door

Ratna Riantiarno, Teater Koma
Pertunjukan Teater Koma karya N. Riantiarno yang mengangkat mengenai "WARISAN" "Itukah warisan kita? Korupsi dan Utang?"

Kehadiran penonton sangat penting dalam dunia teater. Oleh karena itu, Teater Koma punya database penonton. Artinya, dengan database itu mereka bisa dengan mudah untuk memberitahu mereka untuk menonton saat ada pertunjukan Teater Koma.

"Teater Rendra pernah setop, begitu pula teater Putu Wijaya," kata Ratna.

Ratna mengenang, lima tahun pertama Teater Koma berdiri, ia rela dari rumah ke rumah (door to door) agar masyarakat mau menonton. Ia juga mendatangi kampus hingga kantor-kantor.

Selain itu, pihaknya juga harus stand by tiap saat jika ada yang ingin membeli tiket. Hal itu agar mereka bisa menonton.

"Saya bahkan sempat hanya pakai daster untuk menerima mereka yang mau membeli tiket," ujar Ratna.

Ratna mengatakan, Teater Koma bertekad untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri, meski ada teater lain yang pentas di luar negeri. Ia ingin dunia teater berkembang di Indonesia. 

"Banyak sekolah yang punya komunitas teater, bahkan Mas Nano bersedia jadi juri di sekolah-sekolah. Namun, setelah lulus, mereka nggak melanjutnya lagi karena dilarang oleh orangtua mereka," ungkap Ratna.

Sebagai bukti komitmen, Teater Koma akan mementaskan lakon berjudul Goro-Goro yang bertempat di Taman Ismail Marzuki pada 25 Juli - 4 Agustus 2019. "Saya berharap masyarakat makin banyak untuk menonton teater. Selain itu, pemerintah bisa lebih peduli kepada komunitas-komunitas teater di Indonesia," ucapnya.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya