Liputan6.com, Jakarta - Seorang perempuan Tionghoa ditinju dan disebut sebagai penyakit di stasiun subway New York, sementara halaman depan sebuah koran Prancis menyertakan figur perempuan Asia dengan keterangan "Yellow Alert" adalah secuil contoh perpanjangan dampak penyebaran virus corona.
Mengutip laman Ink Stone News, 7 Februari 2020, momok penyebaran virus disebut berasal dari Wuhan, Tiongkok ini sudah menyebabkan xenophobia terhadap orang keturunan Tionghoa, bahkan warga negara-negara di Asia Timur secara keseluruhan. Ya, seiring bertambah jumlah pengidap virus corona di 28 negara, komunitas Tionghoa dan Asia di luar negeri dilanda diskriminasi dalam berbagai bentuk perlakuan maupun ucapan.
Advertisement
Baca Juga
"Saya mendengar orang lain dengan santainya berkata, 'Mereka (pemerintah Australia) seharusnya melarang orang Cina datang ke Australia," cerita petugas layanan publik keturunan Tionghoa-Asutralia Michael pada South China Morning Post.
Sophie Xu, perempuan 24 tahun blasteran Inggris-Tionghoa yang bekerja sebagai petugas finance di Frankfurt bercerita, banyak orang asing yang menyuruhnya segera meninggalkan Jerman atau sekadar menyatakannya sebagai penyebar virus corona saat berjalan.
"Seorang teman saya mendapat ejekan serupa di jalan oleh sekelompok lelaki di Austria. Ia bahkan bukan seorang Tionghoa, melainkan orang Vietnam," tutur Sophie.
Kasus serupa juga terjadi di Indonesia. Kedatangan sekitar 150 wisatawan asal Tiongkok, akhir bulan lalu, ke Sumatra Barat menimbulkan polemik karena dikhawatirkan bisa menyebarkan virus corona. Dengan tegas warga setempat menolak kedatangan mereka.
Jawa Pos melaporkan, penolakan itu terjadi di kota Bukittinggi dan Batusangkar. Melihat situasi kurang kondusif, biro perjalanan wisata Coco's Tour, yang mendatangkan mereka memutuskan menginapkan semua tamu di salah satu hotel di Padang. Keresahan yang terus berlanjut akan penyebaran virus corona membuat ratusan wisman Tiongkok dipulangkan pada 30 Januari 2020.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Waspada Boleh, Parno Jangan
Kemelut ini, menurut sosiolog dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, merupakan respons dari situasi tidak pasti. "Kondisi ini menimbulkan ketakutan dan membuat orang selalu berprasangka pada kelompok tertentu," katanya lewat sambungan telepon pada Liputan6.com, 5 Februari 2020.
Kondisi tersebut, sambung Devie, diperparah dengan penyebaran informasi yang tak dapat dipertanggungjawabkan di media sosial. Pasalnya, karakter pengguna media sosial cenderung berkumpul pada orang berpandangan sama. "Jadi, ada informasi belum tentu benar, tidak ada yang netralisir," ucapnya.
Information disorder ini kemudian memperkeruh upaya pemerintah pusat memberi informasi nyata. Efeknya, publik terus-menerus mendapat informasi yang buruk, juga orang-orang tertentu terdampak prasangka tak baik.
"Tapi, tidak bisa juga disebut bahwa pemerintah gagal. Hanya saja, supply informasi yang benar lebih sedikit secara jumlah maupun kualitas," terangnya.
Di tengah keresahan penyebar wabah, publik cenderung mau jadi pahlawan yang mengabarkan secepat-cepatnya, sehingga lupa konfirmasi. "Identifikasinya, berita tak benar itu biasanya menyentuh emosi. Membuat terlalu takut, terlalu senang, terlalu marah. Sangat persuasif dan menyentuh emosi. Jadi, sebenarnya tak ada data dan fakta yang disampaikan. Hanya mau bermain-main dengan emosi," Devie menjelaskan.
Karenanya, menumbuhkan critical thinking, yakni mempertanyakan segala informasi, jadi krusial dalam situasi seperti ini. "Segampang bilang, 'Masa sih? Masa iya?'. Itu sudah membuat diri sendiri tak langsung percaya dengan informasi yang diterima," ucapnya.
Benteng pertama itu membuat orang mau diam sejenak dan memeriksa kebenaran informasi yang diterima. Juga, mesti pandai-pandai membedakan tindakan waspada dan parno semata.
"Waspada itu berarti tidak berhenti pada menuding. Ada langkah-lngkah memerika yang dilakukan. Kalau parno, dalam kasus virus corona, otomatis menjauh. Keputusan ini sebenarnya masuk dalam kategori kelakuan dilandasi emosi," tandasnya.
Advertisement