Liputan6.com, Jakarta - Nama Niluh Djelantik tentu tak lagi asing di industri kreatif dan dunia mode. Desainer merek sepatu lokal ini tak hanya dikenal di Indonesia. Karya buatannya sudah melambung jauh ke berbagai belahan dunia. Belum lama ini, ia membagikan sedikit suka-duka jadi pengusaha merek lokal, serta menyinggung aksi demo tolak UU Cipta Kerja.
Dalam unggahan akun Instagram-nya, beberapa hari lalu, diawali dengan istilah 'rumput tetangga', desainer asal Bali itu mengingat kembali koleksi terbaru Dior yang baru-baru ini viral karena menggunakan kain Endek Bali di Paris Fashion Week 2020.
"Kebayang kalau Dior juga bikin masker kain Endek Sidemen ala Niluh Djelantik yang matching sama koleksi cakepnya kemarin yang sempat viral, kebayang juga harganya yang tentunya bakalan beratus kali lipat dibandingkan brand anak bangsa favorit kalian,"Â tulisnya. Namun, tetap saja, menurutnya sebagian dari masyarakat memang menganggap rumput tetangga terlihat lebih hijau, di mana merek luar negeri akan selalu terlihat lebih baik, meski harganya selangit.
Advertisement
Â
Baca Juga
Ia pun menceritakan pengalamannya saat menghadapi pelanggan lokal bergaya seperti sosialita yang datang ke toko miliknya. Sosok tersebut datang dengan mengenakan sandal bermerek Chanel dan tas Hermes. Namun, saat tahu harga sepatu Niluh Djelantik, orang tersebut langsung mengomel dan berkata, "Mahal amat, diskon dong. 70 persen, ya."
"Waktu itu aku sedang pake jeans belel dan t-shirt robek. Sambil duduk di lantai mengukur kaki pelanggan, kujelaskan dengan sabar proses pembuatan, material, hingga rumit proses teamwork yang mengerjakannya," tulisnya lagi. "Jawaban mereka, ‘Iya, tapi kamu kan bukan Hermes atau YSL, diskon dong’," tambahnya. Â
Niluh Djelantik mengatakan, dirinya segera meminta maaf karena tak dapat memenuhi permintaan tersebut, lalu pamit untuk melayani pelanggan lain. Menurutnya, pelanggan setia produknya adalah mereka yang datang dari beragam gender, kalangan, pekerjaan, serta latar belakang. Ia mengaku tak pernah memilih siapa yang pantas mendapatkan pelayanan lebih karena semua pelanggan istimewa baginya.
"Kami setia menemani. Mereka setia bersama kami. Hingga saat ini," imbuhnya. Ia juga mengatakan bahwa produknya bahkan sudah dikenakan berbagai publik figur tanah air, hingga selebritas mancanegara. Untuk itu, dirinya selalu mengucap syukur dan mengatakan bahwa hidup itu indah.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Bahas Mental Pemenang
Berkaitan dengan kontroversi pengesahan UU Cipta Kerja yang memantik demonstrasi buruh dan mahasiswa, Niluh Djelantik juga berkomentar tentang bagaimana seharusnya perilaku dan mental pejuang pengusaha lokal. Ia pun mengunggah video para pengrajin yang sedang bekerja sambil mengamati aksi pendemo di televisi.
Desainer yang tahun ini menginjak usia 45 tahun itu mengawali komentarnya dengan kalimat, "Pemenang bukan pecundang." Baginya, masyarakat harus menanggapi polemik ini dengan kepala dingin dan memahami isi ratusan halaman aturan tersebut terlebih dulu, tanpa harus bersikap anarkis.
"Buat mahasiswa yang lagi demo, ya ampyun, nak, jalanmu masih panjang. Kamu tahu persaingan dunia kerja yang kamu hadapi saat lulus nanti? Buat pekerja yang juga sibuk untuk demo dan ngajakin temen-temennya buat ikutan demo. Duh, sayang, berpikir dengan logis sejenak. Jangan langsung main hantam. Yuk refreshing sejenak. Bangun mental pemenangmu bersama kami," tulisnya dalam unggahan tersebut.
Menurutnya, tak setuju akan sebuah aturan itu memang tak dilarang, dan mengatakan bahwa masyarakat boleh kritis, asal jangan anarkis. "Suatu hari akan kuceritakan, bagaimana Niluh Djelantik berjuang dari NOL, membangun usaha dengan begitu banyak tantangan dan kendala yang ampun-ampun. Gak cuma berantem sama birokrasi, perijinan yang OMG, tapi juga musti merelakan brand yang kami bangun dengan keringat dan air mata terhempas diembat distributor. Gak tanggung-tanggung dari dua benua," ceritanya.
Baginya, mental pejuang harus dihadirkan, seperti yang ada di diri para pengrajin dalam video unggahannya itu. Niluh mengatakan, ia dan timnya tak menyerah saat sistem birokrasi tak berpihak pada usaha kecilnya. Mereka terus melawan dan menyuarakan hak-hak mereka, serta tetap menjalankan kewajiban dengan taat.
"Karena untuk berhadapan dengan mereka yang beupaya mempersulitmu. Kamu harus bersih, transparan, dan tegas. Kamu musti punya ‘senjata’ untuk melawan. Senjata itu adalah kejujuran, dan kami konsisten menjalankannya," tutupnya. (Brigitta Valencia Bellion)
Advertisement