Liputan6.com, Jakarta - Secara historis, wilayah Sulawesi Tengah (Sulteng) mulai diduduki Belanda pada 1905. Saat itu, Sulteng dibagi jadi beberapa wilayah, barat, tengah, dan timur. Sisi baratnya merupakan wilayah Donggala, Donggala Timur sampai Poso di bagian tengah, dan area timur mencakup area Bau-Bau.
"Pembagian wilayah itu dilakukan Belanda untuk menzonasi. Zona-zona itu kemudian erat kaitannya dengan bentuk arsitektur nusantara atau lokalitas di Sulawesi Tengah," ujar pengajar jurusan arsitektur Universitas Tadulako, Fuad Zubaidi, dalam webinar "Obrolan Heritage: Menilik Kearifan Lokal Sulawesi Tengah," Jumat, 27 Februari 2021.
Advertisement
Baca Juga
Dalam konteks arsitektur tradisional, pembentukannya dilatarbelakangi pengalaman manusia berinteraksi dengan alam. Dalam praktiknya, orang-orang Kaili selalu mempunyai konsep filosofis yang erat kaitannya dengan Sang Pencipta, alam, dan manusia.
"Kaili adalah suku di Indonesia yang secara turun-temurun mendiami daerah Lembah Palu, Kabupaten Sigi, Kabupaten Parigi Moutong, Kabupaten Donggala, Kabupaten Tojo Una-Una, Kabupaten Morowali, dan Kabupaten Banggai. Etnik Kaili itu sangat kaya dari segi bahasa," kata Fuad.
Berdasarkan lokalitas suku Kaili, lanjut Fuad, arsitektur Sulteng terbagi jadi empat tipe. Tipe A digambarkan serupa segi empat yang terdiri dari dua bagian, yakni bangunan atas dan bangunan bawah.
"Tipe B pada dasarnya sama dengan Tipe A, kecuali gelagar balok jadi segi empat. Tipe C ini tidak dibangun atas gelagar balok yang dipasang tegak ke atas. Ada juga Tipe D yang hampir sama dengan tipe C. Bedanya hanya pada tiang-tiang," urai Fuad.
Â
**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Lebih Tahan Gempa
Dari empat tipe itu, karakteristik arsitektur bangunan khas Sulawesi Tengah berbentuk panggung dengan sisi ketinggian yang berbeda-beda, yakni mulai 50 centimeter (cm), sampai dua meter dari tanah.
"Perbedaan itu terjadi tergantung di mana karya itu dibangun. Jadi, akan sangat berbeda dengan arsitektur di pegunungan, tepi pantai, dan wilayah-wilayah pesisir lain," papar Fuad.
Sementara, atapnya rata-rata miring dengan bentuk limasan bersudut cukup tajam. Fuad mencontohkan, tambi ada yang 60 derajat, bahkan lebih. Tapi, berbentuk lebih landai di bangunan areal dekat pantai.
"Saya kira ini untuk merespons lingkungan sekitar. Bentuknya sederhana dengan memanfaatkan material-material organik," tegas Fuad.
Fuad menegaskan, karya arsitektur Kaili lebih mampu bertahan dengan kondisi yang ada, seperti saat terjadi banjir dan longsor. "Karya arsitektur Kaili itu saat terjadi gempa lebih mampu bertahan. Contohnya rumah lobo. Saat (gempa) terjadi beberapa kali, bangunannya masih berdiri dengan kokoh," kata Fuad.
Advertisement