Banjir Barabai dan Maraknya Praktik Pembalakan Liar

Berdasarkan sejarah kota Barabai, pada banjir kali ini merupakan banjir yang terparah.

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Mar 2021, 20:36 WIB
Diterbitkan 13 Mar 2021, 12:18 WIB
Ilustrasi banjir
Ilustrasi banjir. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta -  Banjir Barabai memang menjadi peristiwa yang sangat membekas di awal tahun 2021. Meluapnya air di hulu sungai, menyebabkan kerusakan infrastruktur berupa jembatan, bangunan dan akses jalan. Banyak masyarakat yang menjadi korban musibah banjir tersebut, salah satunya Fahruzi yang merupakan warga Barabai asli.

Fahruzi mengaku banjir tersebut merepotkan para warga dengan ketinggian air di jalan hampir satu hingga satu setengah meter. Bahkan di beberapa area, banjir meluluhlantakkan tempat tinggal bahkan sampai mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Kelumpuhan ekonomipun terjadi di Barabai. Tinggal di pengungsian dengan segala keterbatasan, membuat masyarakat menangisi musibah yang datang ke desa mereka.

Berdasarkan sejarah kota Barabai, pada banjir kali ini merupakan banjir yang terparah. Meski diakui Fahruzi pada tahun-tahun sebelumnya sering juga terjadi banjir dan dalam setahun itu terjadi satu hingga enam kali, biasanya akan memuncak di bulan keenam.

“Kerusakan alam di Barabai akan makin terjadi, bila praktek illegal logging tidak dihentikan. Mereka menebang pohon besar-besaran tanpa peduli mengenai akibatnya, ditambah lagi curah hujan yang ekstrim seperti kemarin akan semakin memperparah kondisi,” terang Fahruzi.

Faktor kerusakan alam akibat praktik illegal logging (pembalakan liar) dan meluasnya pengambilan batu dan tanah juga dibenarkan oleh Rahma, salah satu penduduk desa yang melihat mirisnya penebangan hutan yang makin banyak terjadi., hingga mengakibatkan banjir yang terjadi di awal tahun ini lebih besar dibandingkan banjir besar yang terjadi tahun 2013.

“Saya pernah dengar cerita tentang sejarah banjir di masa lampau Barabai, tapi hanya sebatas mendengar dari cerita-cerita orang tua. Yang saya alami banjir bandang kayak gini nih pernah 2013 gitu kan, tapi gak sebesar yang tahun ini,” kata Rahma yang merupakan warga asli Barabai yang menjadi saksi banjir kemarin.

Meski banjir yang melanda merusak dan membuat masyarakat tinggal di tempat pengungsian, tapi bantuan pemerintah daerah, pemerintah pusat dan swasta cepat datang dan mengantisipasi dengan segala kemungkinan di lapangan. “Bantuan cepat datang dari pusat dengan makanan yang tidak kekurangan, vitamin, dan pakaian. Tapi untuk bantuan tenda pemukiman memang menunggu waktu karena terhalang daerah yang rusak dan tidak bisa dilalui,” kata Rahma.

Banjir Barabai juga tidak lepas dari kondisi alamnya, dimana illegal logging yang merajalela.  “Seperti yang saya lihat sih salah satunya banyaknya penebangan pohon, sehingga banjir tahun ini dahsyat. Kalo dulu banget penebangan tidak sebanyak ini dan gak pernah juga terjadi banjir bandang selama saya lihat, meskipun kabar dan cerita orang tua pernah terjadi banjir bandang pada zaman dahulu. Kala uterus menerus penebangan ilegal ini dibiarkan, tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti Barabai akan tenggelam” ungkap Rahma.

Sejauh ini memang banyak masyarakat mengakui bahwa penebangan-penebangan pohon yang terjadi, seringkali menjadi mata pencaharian bagi segelintir orang.

Momen Baim Wong Kunjungi Korban Banjir Kalsel, Terjun Langsung Salurkan Donasi. (Sumber: Instagram/baimwong)
Momen Baim Wong Kunjungi Korban Banjir Kalsel, Terjun Langsung Salurkan Donasi. (Sumber: Instagram/baimwong)

“Saya lihat penebangan itu dilakukan segelintir orang dengan alasan sebagai mata pencaharian mereka, ada juga yang mengambil pohon-pohon tersebut untuk mendirikan rumah. Meski yang mereka tebang itu pohon yang besar, tapi harusnya mereka menanam kembali dan jangan dibiarkan menjadi gundul. Mereka tidak memiliki tanggung jawab pada alam, sehingga membuat alam juga murka dengan kejadian musibah ini. Tanggung jawab ini yang harusnya dimiliki bagi siapapun yang memanfaatkan alam dengan memberikan kompensasi pada alam,” urainya.

Rahma berpendapat bahwa perlu adanya tata kelola sumber daya alam yang baik di Barabai yang memang sangat diharapkan masyarakat. Selain itu, masyarakatpun perlu diberikan kesadaran dan informasi tentang daerah rentan bencana, hingga mereka tidak boleh lagi mendirikan bangunan ataupun rumah tinggal di area-area yang cenderung merusak tatanan alam maupun area yang rawan bencana.

Masyarakat perlu adanya informasi tentang daerah yang rentan di saat bencana datang. Langkah-langkah tata kelola Sumber Daya Alam yang baik perlu dilakukan, agar alam tidak terus-menerus dirusak dan hutan dibuat gundul,” harap Rahma.

Rahma bersyukur, saat ini sudah ada gerakan “Save Meratus” untuk menyelamatkan wilayah hutan agar tidak terjadi terus menerus penebangan liar dan penambangan liar yang tak berizin serta yang bersifat merusak alam dengan semena-mena.

“Meskipun pemerintah daerah serta DPRD setempat telah memutuskan untuk menjaga kawasan hutan disekitar Barabai, terutama kawasan Meratus, dengan melarang aktivitas pertambangan, namun sangat disayangkan praktek-praktek yang tidak bertanggung jawab seperti illegal logging dan penambangan liar masih saja tetap terjadi sampai saat ini”, terang perempuan yang aktif mendampingi para peneliti ini.

Harapan yang dibangun Fahruzi dan Rahma adalah harapan sebagian besar masyarakat Barabai. Diperlukan kesadaran masyarakat secara luas dalam memanfaatkan alam dengan benar demi kemaslahatan masyarakat banyak.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya