Liputan6.com, Jakarta - Para wanita di seluruh Cina marah dengan rencana pemerintah daerah untuk memaksa wanita muda agar tetap tinggal di pedesaan dan menikahi bujangan setempat. Rencana itu dikenal dengan Operation Bed Warming (operasi pemanasan tempat tidur).
Usulan pemerintah daerah Xiangyin di Provinsi Hunan, China itu diunggah di laman web partai komunis lokal. Dalam usulan tersebut tertulis bahwa para bujangan desa kini kesulitan menikah lantaran sedikitnya perempuan lajang yang akhirnya dianggap sebagai masalah sosial.
Untuk itu, pemerintah menyiapkan solusi yang terdiri dari empat poin. Termasuk di dalamnya adalah meningkatkan propaganda agar wanita lokal tidak pindah dari pedesaan, menyederhanakan dokumen hukum agar masyarakat tidak pindah dari desa, serta meningkatkan layanan perjodohan, lowongan kerja, dan gaji.
Advertisement
Baca Juga
"Perempuan pedesaan harus dididik untuk mencintai kampung halamannya, membangun kampung halamannya," seperti tertulis dalam proposal rencana tersebut, dilansir dari South China Morning Post, Selasa, 12 Oktober 2021.
"Didorong untuk tetap tinggal dan mengubah kampung halamannya untuk menurunkan rasio yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan di sini," sambung pernyataan tersebut.
Rencana ini langsung menuai kritik yang meluas. Banyak yang menyebutnya sebagai pelanggaran terhadap kebebasan perempuan. "Kami tidak dididik untuk kembali ke kampung halaman dan melayani mertua kami," ujar salah seorang wanita pengguna Weibo.
Sementara lainnya mengatakan, "Saya menduga wanita pedesaan yang masih tinggal di desa, semua akan pergi setelah mereka mendengar proposal ini."
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Buru-Buru Klarifikasi
Beberapa orang yang mendukung kebijakan ini,juga menerima kritik secara online. Sebuah situs web bernama Red Net, yang dijalankan oleh Komite Partai Provinsi Hunan, menerbitkan sebuah artikel yang mengatakan bahwa proposal tersebut penting.
"Ini bukan masalah kecil bagi laki-laki pedesaan untuk memiliki istri. Itu mutlak diperlukan bagi daerah pedesaan untuk memiliki ‘operation bed warming’ dan untuk laki-laki pedesaan yang lebih tua merasa lebih bahagia," seperti yang tertulis dalam artikel yang diterbitkan di Red Net.
"Di daerah pedesaan, sudah menjadi hal yang umum bahwa laki-laki tidak bisa mendapatkan istri. Itu membuat orangtua dan diri mereka sendiri sengsara," tambahnya.
Karena jadi polemik, pemerintah daerah mengklarifikasi bahwa mereka tidak bermaksud untuk memaksa wanita agar tetap tinggal. Rencana yang dibuat tersebut dimaksudkan hanya sebagai dorongan untuk tetap tinggal.
Â
Â
Advertisement
Dampak Ketimpangan Gender
Menurut data dari Kementerian Urusan Sipil di Cina, pada 2020 hanya 8,13 juta pasangan yang menikah, jumlah tersebut mengalami penurunan sekitar 12 persen dari tahun sebelumnya. Tahun tersebut merupakan tahun ketujuh tren penurunan angka pernikahan di China.
Hal ini disebabkan karena China merupakan negara yang memiliki ketimpangan rasio gender akibat kebijakan satu anak yang populer dan adanya diskriminasi gender selama bertahun-tahun. Sudah rahasia umum orangtua di China memilih anak lelaki dan membuang anak perempuan mereka. Daerah pedesaan sangat terpengaruh karena banyak perempuan yang pindah ke kota-kota besar untuk mencari peluang kerja yang lebih baik.
Rasio angka kelahiran bayi laki-laki dan perempuan di China yaitu 114:100. Berdasarkan data Statistik, saat ini terdapat 30 juta laki-laki lebih banyak dari perempuan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rata-rata rasio angka kelahiran laki-laki dan perempuan secara global, yaitu 105:100. (Gabriella Ajeng Larasati)
Kejahatan Vaksin Covid-19 Palsu di China
Advertisement