Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah diminta untuk lebih berhati-hati dalam menyikapi tren transisi energi baru terbarukan (EBT). Sebab hal itu justru berpotensi menimbulkan krisis energi jika disikapi secara berlebih.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, lantas menyoroti negara-negara seperti Inggris, Uni Eropa, China, dan India yang terlalu progresif menyambut program EBT. Mereka jadi terkena dampak krisis energi akibat harga gas alam yang melambung.
Baca Juga
"Tapi yang saya mention adalah, jangan sampai kita mengalami seperti Inggris, seperti China, yang di dalam konteks ini kan mereka ingin cepat-cepat bergeser ke EBT," ujarnya dalam sesi bincang virtual bersama SKK Migas, Selasa (12/10/2021).
Advertisement
Untuk Inggris misalnya, Komaidi mencontohkan, pada satu bulan sebelumnya mereka menyampaikan akan memberikan contoh kepada dunia untuk menghilangkan penggunaan batu bara.
"Tetapi satu bulan kemudian mereka kembali ke batu bara karena ada kenaikan (harga gas alam) yang cukup signifikan. Itu berdampak terhadap kenaikan tarif listrik sehingga empat kali lipat," ungkapnya.
Â
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Transisi Energi
Intinya, Komaidi coba menekankan pesan yang ingin disampaikan, bahwa seluruh pabrik atau perusahaan energi perlu mencermati transisi energi secara hati-hati. Meskipun Pemerintah RI juga sudah berkomitmen mengikuti mandatori dari Paris Agreement.
"Tapi kita perlu cerdas melihat tahun 2020, bauran energi Amerika Serikat untuk EBT baru 12 persen. Itu sebagian besar pun dari biomass. Sementara kita sepertinya ingin lari lebih cepat yaitu 23 persen di 2030," ungkapnya.
"Ini mention yang ingin saya sampaikan supaya kita lebih hati-hati menjaga fosil yang sudah kita punyai, yaitu migas, itu kelolanya harus hati-hati," tegas Komaidi.
Advertisement