Liputan6.com, Jakarta - Ciacia, bahasa daerah di kota Baubau, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, belakangan tengah jadi sensasi online. Pasalnya, bahasa daerah tersebut menggunakan hangul, sebutan aksara Korea, dalam penulisannya. Tapi, ini sebenarnya bukan kali pertama topik tersebut muncul.
Mengutip situs web Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Selasa (4/1/2022), pada Agustus 2009, Wali Kota Baubau kala itu mengumumkan adaptasi aksara Korea karena bahasa Ciacia tidak mempunyai aksara sendiri. Keputusan itu pun menimbulkan pro kontra.
Dijelaskan bahwa adaptasi ini dilatarbelakangi permasalahan tentang bagaimana melestarikan bahasa daerah yang bertebaran di seluruh penjuru Kota Baubau. Bahasa Ciacia merupakan bahasa tutur yang digunakan masyarakat Ciacia. Kendati penuturnya berjumlah cukup banyak, diperkirakan sekitar 93 ribu penutur, masyarakat Ciacia tidak memiliki budaya tulis.
Advertisement
Baca Juga
Satu-satunya tradisi tulis masyarakat Ciacia ditemukan dalam kutika, semacam coretan-coretan yang ditorehkan pada sepotong papan kayu atau kertas yang mirip seperti simbol. Kutika umumnya dimiliki orang yang dituakan dalam masyarakat.
Kebijakan penggunaan aksara Korea berawal dari sebuah Simposium Internasional Pernaskahan ke-9 pada 5 sampai 8 Agustus 2005. Seusai simposium, ketika para peserta melakukan wisata keliling kota, Chun Tai-Hyun, seorang ahli bahasa Malaysia, sekaligus Ketua Departemen Hunmin Jeonggeum Masyarakat Korea, bercanda bahwa bahasa lokal yang didengarnya di sana mengingatkannya pada Korea.
Dikatakannya bahwa aksara hangul dapat digunakan sebagai aksara untuk bahasa Ciacia yang sedang dihadapkan pada risiko kepunahan. Pernyataan Chun Tai-Hyun segera direspons positif oleh Wali Kota Baubau saat itu.
Narasi ini kemudian dipaparkan melalui studi oleh Mikka Wildha Nurrochsyam, peneliti di Pusat Penelitian, Kebijakan Pendidikan, dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan, Kemendikbud. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus, juga didukung studi pustaka.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Mereka yang Pro
Dalam kertas kerjanya, Tamin (2010), catat peneliti, menyatakan bahwa terdapat dua pandangan terkait penggunaan aksara Korea dalam bahasa Ciacia. Di antara yang pro atas keputusan tersebut beralasan budaya tidak statis, tapi terus berkembang, termasuk juga bahasanya.
Mereka berargumen bahwa adaptasi aksara Korea jadi aksara Ciacia itu sangat dimungkinkan, seperti dinamika yang terjadi saat aksara Arab diadaptasi jadi aksara Buri Wolio, aksara yang digunakan untuk menuturkan bahasa Wolio. Kenyataannya dengan adaptasi aksara Arab tidak membuat masyarakat mempunyai identitas budaya Arab.
Kedua, aksara Ciacia yang diadaptasi dari aksara Korea tidak akan mengubah bahasa Ciacia karena yang diadaptasi hanya aksara saja, "tidak akan memengaruhi budaya masyarakatnya." Ketiga, penggunaan aksara Ciacia merupakan upaya mencegah kepunahan bahasa Ciacia, sehingga dapat diwariskan pada generasi berikutnya.
Penggunaan aksara ini dianggap dapat memicu generasi muda meminati bahasa daerah Ciacia. Kelompok yang setuju terhadap adaptasi aksara Korea ini antara lain tokoh adat suku Laporo dan Kaisabu di Kecamatan Sorawolio.
Para birokrat umumnya setuju dengan adaptasi aksara Korea. Adaptasi ini dianggap berdampak positif di antaranya kesempatan berkunjung ke Korea Selatan bagi pemuda dan pemudi di kota tersebut. Kelompok masyarakat lain yang setuju terhadap adaptasi ini adalah para guru dan murid yang secara langsung merasakan dampak kebijakan yang dinilai positif.
Advertisement
Kelompok Kontra
Di sisi lain, kelompok kontra beralasan, pertama, masuknya aksara Korea ke dalam bahasa Ciacia justru mengakibatkan percampuran bahasa antara bahasa Ciacia dan bahasa Korea, yang akhirnya akan diikuti masuknya kosakata dan istilah bahasa Korea dalam bahasa Ciacia.
Kedua, sebaiknya aksara yang diadaptasi sesuai konteks sejarah dan budaya masyarakat Ciacia, yakni aksara Buri Wolio. Masyarakat Ciacia dianggap lebih mudah menggunakan aksara Buri Wolio karena relasi sosial masyarakat Ciacia sangat intens dengan masyarakat yang berbahasa Wolio. Aksara Buri Wolio pun akan mudah dipelajari anak-anak karena kebiasaan mengaji.
Ketiga, aksara Buri Wolio telah mengakar, melalui sebuah proses sejarah dan akulturasi yang panjang dalam konteks kehidupan sosial dan masyarakat Buton. Adaptasi aksara Arab melalui proses tidak instan, tapi didasarkan atas kebutuhan komunikasi masyarakat pada masa lalu, "bukan karena kebijakan dari penguasa yang diperuntukan untuk masyarakatnya."
Keempat, keputusan penggunaan aksara Ciacia tidak melibatkan penutur bahasa Ciacia lain, seperti di Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Wabula, dan tempat lain yang tersebar di Indonesia. Penyelesaian etika diskursus pernah ditawarkan Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara (Hanna, 2010) yang menyatakan bahwa penggunaan aksara hangul perlu melalui penelitian dan kajian yang mendalam dan komprehensif.
Praktiknya juga perlu melibatkan masyarakat, khususnya penutur bahasa Ciacia yang tersebar di seluruh penjuru wilayah Kota Baubau, Kabupaten Buton, dan Kabupaten Wakatobi, bukan hanya dari pengambil dan penentu kebijakan. Dalam perkembangannya, mengutip kanal Regional Liputan6.com, justru muncul Kampung Korea sebagai daya tarik wisata. La Ali, pengelola Kampung Korea mengatakan, menyebut objek wisata itu sudah ada sejak 2009.
Ada berbagai spot yang dibuat anak-anak Kampung Karya Baru Bugi. "Awalnya dulu kotor, tapi (dikembangkan) karya generasi muda di kampung ini, dibuatlah spot-spot seperti ini. Kemudian mereka mengambil tema Kampung Korea," kata La Ali.