Liputan6.com, Jakarta - Sungai Watch, lembaga swadaya yang berfokus dalam penyelamatan lingkungan, merilis Impact Report 2021, beberapa waktu lalu. Di dalamnya berisi audit sampah dengan menganalisis 15 kantong sampah sebagai sampel dari Oktober 2020 hingga Desember 2021. Total ada 227.842 unit sampah yang diteliti, termasuk sampah plastik.
Berdasarkan penelitian, ada 10 besar produsen terdeteksi menjadi penyumbang polusi sampah plastik terbesar di wilayah Bali. Di posisi pertama ditempati oleh Danone Aqua, dengan temuan 25.486 unit sampah atau sekitar 12 persen dari total sampah yang dianalisis.
Advertisement
Baca Juga
Posisi kedua ditempati oleh Wings Surya, dengan 14.409 unit sampah, disusul Orang Tua Group yang berbeda tipis, yakni 14.251 unit sampah. Posisi keempat hingga ke sepuluh berturut-turut adalah Santos Jaya Abadi, Unilever, Indofood, Mayora Indah, Coca-Cola, Garuda Food, dan Siantar Top.
"Masing-masing brand yang disebutkan dalam laporan ini sudah diberitahu. Kami berharap data ini akan terus menyalakan diskusi yang konstruktif dan lebih maju terkait pengemasan produk, implementasi titik pengumpulan, sistem deposit, dan tanggung jawab produsen yang diperluas," kata penyusun laporan tersebut.
Laporan itu juga menyebutkan, bahwa sampah saset paling mendominasi jenis sampah bermerek yang mencemari sungai di Bali. Totalnya 69.825 unit sampah, atau sekitar 31 persen dari jumlah sampah yang diteliti. Diikuti dengan sampah gelas plastik dengan total 67.242 unit sampah. Lainnya adalah sampah botol plastik sekali pakai, plastik HDPE, gelas, dan logam seperti kemasan kaleng.
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Tarik Kembali dan Hentikan
Audit sampah itu diapresiasi oleh Asisten Deputi Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marinves) Rofi Alhanif. Audit tersebut dinilai bermanfaat untuk mengedukasi produsen agar lebih bertanggung jawab dalam menarik kembali produk dan kemasan plastik yang diproduksi dan dibuang di lingkungaan terbuka.
"Memang banyak tantangan, utamanya untuk produk seperti saset yang terbilang dilema lantaran permintaannya tinggi, terutama di daerah yang masyarakat atau ekonominya lemah," katanya dalam Dialog Nasional Penanggulangan Sampah Plastik oleh Produsen, dilansir Antara, Sabtu, 4 Juni 2022.
Karena itu, ia meminta agar para produsen aktif mengeksplorasi mekanisme penarikan sampah plastik dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat. Sementara, Kepala Subdirektorat Tata Laksana Produsen, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ujang Solihin Sidik, lebih mendorong produsen mengadopsi penghentian produksi produk dan kemasan pangan dalam wadah plastik mini.
Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Dalam peraturan tersebut, produsen air kemasan diarahkan untuk menghentikan (phasing-out) produksi dan peredaran semua kemasan mini, di bawah 1 liter, per Desember 2029. Aturan serupa berlaku untuk kemasan saset di bawah 50 mililiter.
"Peraturan itu berlaku untuk semua level produsen, baik besar maupun kecil. Namun dalam implementasinya, target utamanya adalah perusahaan-perusahaan besar karena merekalah kontributor terbesar sampah plastik," kata Ujang.
Advertisement
Kurang dari 9 Persen
Awal tahun ini, Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) melaporkan bahwa kurang dari 10 persen sampah plastik di seluruh dunia yang berhasil didaur ulang. Karena itu, pihaknya menyerukan solusi terkoordinasi menjelang negosiasi perjanjian plastik internasional.
Dilansir dari Japan Today, OECD mencatat 460 juta ton plastik digunakan tahun lalu. Jumlahnya hampir dua kali lipat dari 2000. Selama periode tersebut, jumlah sampah plastik meningkat lebih dari dua kali lipat, jadi 353 juta ton.
Setelah perhitungan, dinyatakan bahwa hanya sembilan persen sampah plastik yang berhasil didaur ulang. "Sementara, 19 persen dibakar dan hampir 50 persen dibuang ke tempat pembuangan sampah. 22 persen sisanya dibuang di tempat pembuangan sampah yang tidak terkendali, dibakar di lubang terbuka, atau bocor ke lingkungan," kata OECD Global Plastics Outlook yang berbasis di Paris, Prancis.
Pandemi COVID-19 sempat membuat penggunaan plastik menurun hingga 2,2 persen pada 2020 dibanding tahun sebelumnya. Namun, penggunaan plastik sekali pakai telah meningkat seiring pemulihan ekonomi. Laporan itu menggarisbawahi bahwa plastik menyumbang 3,4 persen dari emisi rumah kaca global pada 2019.
Masalah Global
Sebanyak 90 persen dari produksi dan konversi plastik berasal dari bahan bakar fosil. OECD pun mengusulkan serangkaian "pengungkit" untuk mengatasi masalah pemanasan global dan polusi yang merajalela.
Ini termasuk mengembangkan pasar untuk plastik daur ulang yang hanya mewakili enam persen dari total sebagian besarnya karena harga lebih mahal. "Penting juga bagi negara-negara untuk menanggapi tantangan dengan solusi terkoordinasi dan global," ucap Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann dalam laporan tersebut.
Cormann menambahkan, teknologi baru terkait pengurangan jejak lingkungan dari plastik hanya 1,2 persen dari semua inovasi yang berkaitan dengan produk. Ia juga menyinggung bahwa kebijakan harus menahan konsumsi secara keseluruhan dan sejalan dengan "siklus hidup plastik yang lebih sirkular."
OECD menyarankan investasi 28 miliar dolar per tahun untuk membantu negara-negara miskin mengembangkan infrastruktur pengelolaan sampah. Laporan tersebut muncul kurang dari seminggu sebelum Majelis Lingkungan PBB dimulai pada 28 Februari 2022 di Nairobi. Pertemuan itu diharapkan mencanangkan perjanjian plastik di masa depan yang saat ini belum ada kejelasan.Â
Advertisement