Inovasi Penyerap Polusi Udara dari Mikroalga untuk Pariwisata Berkelanjutan di Indonesia

Bahan fotobioreaktor yang memanfaatkan mikroalga itu disebut juga bisa membantu menyerap karbon dioksida dengan kemampuan setara dengan menanam 100 pohon beringin.

oleh Henry diperbarui 14 Des 2022, 15:03 WIB
Diterbitkan 14 Des 2022, 15:03 WIB
Hutan Bakau di Pesisir Marunda Memprihatinkan
Kondisi hutan bakau di pesisir kawasan Marunda, Jakarta, Selasa (27/8/2019). Tutupan hutan tersebut berakibat bertambahnya emisi karbon dioksida hingga 4,69 kilo ton. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) berusaha mengejar tren pariwisata berkelanjutan dengan berbagai cara. Yang terbaru, mereka berkolaborasi dengan startup pengembang smart city Qlue yang menciptakan produk penyerap karbon dengan memanfaatkan bahan-bahan alami.

"Qlue ini ternyata punya produk, namanya Bioniqa. Jadi ini menarik sekali," kata Sandiaga Uno dalam The Weekly Brief with Sandi Uno yang digelar secara hybrid, Senin, 12 Desember 2022.

Menurut Sandiaga, Bioniqa merupakan sebuah alat fotobioreaktor berbahan alami dan menerapkan teknologi IoT (Internet of Things) dan AI (Artificial Intelligent). Contohnya adalah mikroalga untuk mengurangi karbon dioksida dan mengeluarkan sejumlah besar oksigen ke atmosfir untuk meningkatkan kualitas udara.

"Pengelolaan pariwisata berkelanjutan ini sangat dekat dengan kualitas udara dan tentunya dengan adanya Bioniqa ini, kita berharap bisa lebih cepat memperbaiki kualitas udara di destinasi wisata kita karena kualitas udara sangat penting bagi kita semua," terang kata Sandiaga.

CEO sekaligus Co-Founder Qlue, Rama Aditya menjelaskan Bioniqa yang berfungsi menyerap karbon dioksida di udara juga bisa dimanfaatkan untuk carbon offsetting. Jadi, karbon yang di-offset pada satu alat Bioniqa setara dengan menanam 100 pohon beringin. 

"Jadi sebenarnya ini bisa dikaitkan dengan carbon footprint, bisa di-offset dengan alat ini," ucap Rama. 

Alat tersebut bisa dipasang di luar ruangan, terutama di jalan raya yang banyak dilalui kendaraan. Secara otomatis alat akan menyerap karbon dioksida yang dihasilkan dari kendaraan bermotor.

Emisi Karbon

Menparekraf Sandiaga Uno di The Weekly Brief with Sandi Uno
Menparekraf Sandiaga Uno di The Weekly Brief with Sandi Uno, Senin, 12 Desember 2022.  foto: dok. Kemenparekraf

Alat tersebut juga bisa dipasang di luar ruangan. Alasannya, gedung-gedung di beberapa kota besar terutama di Jakarta menyumbang 36 persen dari emisi karbon di perkotaan.

"Kalau dipasang di dalam ruangan, bisa memanfaatkan sinar matahari buatan dan jika di outdoor alat ini akan otomatis memanfaatkan sinar matahari untuk fotosintesis alganya," katanya.

Pada Mei lalu, para delegasi G20 sepakat menciptakan iklim pariwisata berkelanjutan dengan menghadirkan pembiayaan internasional dalam upaya transformasi menuju iklim tersebut. Kesepakatan ini dibuat dalam Tourism Working Group (TWG) 1 di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 11 Mei 2022.

Dalam bingkai keberlanjutan, keberhasilan pariwisata tak hanya diukur dalam jumlah pengunjung saja. Keberhasilan juga harus difokuskan pada dampak positif yang bisa diberikan sektor tersebut terhadap peningkatan ekonomi, kesejahteraan masyarakat, dan kelestarian alam.

Dalam menciptakan iklim pariwisata berkelanjutan, tentunya produk-produk yang dihasilkan harus sesuai dengan prinsip-prinsip ini. Di antaranya bagaimana produk pariwisata dan ekonomi kreatif bisa meminimalkan limbah agar lingkungan tidak tercemar.

Sandiaga menyebut wisata kuliner sebagai contoh. Di samping memenuhi kebutuhan primer wisatawan saat di tempat wisata, kuliner juga bisa menjadi penyumbang masalah sampah yang kerap kali tidak sedikit. Bentuknya beragam, mulai dari sisa makanan yang tidak dihabiskan hingga kemasan plastik yang dihasilkan dan bahkan dibuang sembarangan.

 

Sampah Plastik

Hutan Bakau di Pesisir Marunda Memprihatinkan
Warga memancing di dekat hutan bakau yang tersisa di pesisir Marunda, Jakarta, Selasa (27/8/2019). Tutupan hutan tersebut berakibat bertambahnya emisi karbon dioksida hingga 4,69 kilo ton. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Ada lagi soal pengurangan emisi karbon. Target pengurangan emisi karbon sekitar 25 persen pada 2030 di sektor pariwisata, berdasarkan penelitian UNWTO pada Desember 2019, memerlukan dukungan pembiayaan, termasuk kemungkinan pembentukan dana internasional untuk menetralisir iklim dalam sektor pariwisata.

Tercatat bahwa sampah plastik yang menjadi isu global ini membutuhkan waktu sekitar 500 hingga 1.000 tahun untuk benar-benar terurai oleh tanah. Dari data yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan dari 64 juta ton sampah plastik per tahun, sebesar 3,2 juta ton berkontribusi ke laut.

Tentunya hal ini sangat mengkhawatirkan biota-biota laut dan menciptakan dampak lebih besar terhadap kesehatan serta lingkungan Indonesia melalui Kemenparekraf telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi sampah plastik ini. Di antaranya dengan menghadirkan pengelolaan sampah plastik di Desa Gorontalo, Kabupaten Manggarai Barat, Labuan Bajo.

Dalam penerapan pengolahan sampah, Kemenparekraf bekerja sama dengan PT. ASTRA. Metode yang digunakan adalah pirolisis. Jadi, sampah plastik yang dikumpulkan nelayan akan diolah dengan teknologi tinggi untuk menghasilkan bahan bakar solar, yang nantinya bisa digunakan oleh nelayan untuk aktivitas melaut mereka.

 

4 Pilar Fokus

Dukung KTT G20, 2.000 Bibit Bakau Ditanam di Hutan Raya Ngurah Rai Bali
Pasukan TNI Kodim 1611 Badung mengayuh pada program menanam pohon bakau di kawasan Hutan Raya Ngurah Rai Bali (13/06/2022). Program menanam untuk lebih menjaga pantai dan wisata di Bali salah satu poin 14 dalam SDGs yang mendorong tata kelola laut dan pantai secara berkelanjutan dalam mendukung KTT G20. (Liputan6.com/HO/QNET)

Kemenparekraf juga telah menghadirkan Waste Management Specialist untuk melihat potensi pengolahan sampah yang akan bermanfaat secara ekonomi bagi masyarakat setempat. Dengan begitu, Labuan Bajo dapat menjadi destinasi pariwisata yang benar-benar bebas dari sampah.

"Saat ini bisa dibilang kita sudah bangkit dari pandemi, lalu untuk program Sustainable Tourism Development (STDev) ini bagaimana aplikasinya untuk para pelaku pariwisata yang mulai bangkit? Misal bagaimana upgrade skill-nya? Seperti apa pengembangannya di lapangan?" tanya Sandiaga. "Karena kalau di beberapa daerah pasti butuh penyesuaian," sambungnya.

Adanya pandemi Covid 19 yang terjadi dalam kurun waktu dua tahun terakhir telah mengubah cara pandang pengembangan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif di Indonesia. Hal ini membuat sektor pariwisata dan ekonomi kreatif menjadi industri yang cukup rentan, yang memiliki banyak isu yang harus dihadapi apabila akan mencapai keberlanjutan/sustainability.

Dalam upaya mengembangkan sustainable tourism, Kemenparekraf/Baparekraf memiliki empat pilar fokus yang dikembangkan melalui Peraturan Menteri Parekraf No. 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan. Di antaranya pengelolaan berkelanjutan (bisnis pariwisata), ekonomi berkelanjutan (sosio-ekonomi) jangka panjang, keberlanjutan budaya (sustainable culture) yang harus selalu dikembangkan dan dijaga, serta aspek lingkungan (environment sustainability).

Infografis: 4 Unsur Wisata Ramah Lingkungan atau Berkelanjutan
Infografis: 4 Unsur Wisata Ramah Lingkungan atau Berkelanjutan
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya