Ritual Puasa dan Berdoa Sebelum Meracik Jamu

Dulunya, meracik jamu bukanlah pekerjaan yang boleh dilakukan sembarang orang.

oleh Asnida Riani diperbarui 21 Mar 2023, 05:01 WIB
Diterbitkan 21 Mar 2023, 05:01 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi bahan pembuat jamu. (dok. unsplash/Merve Sehirli Nasir)

Liputan6.com, Jakarta - Tradisi minum jamu telah mencatat sejarah panjang di Indonesia. Di salah satu bahasannya, disebutkan bahwa peramu minuman tradisional ini harus melakukan ritual tertentu, seperti berdoa dan puasa, sebelum meracik jamu.

Dijelaskan dalam The Origin of Jamu yang ditulis Indonesia Gastronomy Network berkolaborasi dengan ACARAKI, melansir Google Art & Culture, Senin, 20 Maret 2023, bahwa pada zaman Kerajaan Majapahit, Prabu (Raja) Hayam Wuruk telah mengatur secara rinci praktik pengobatan.

Dalam kitab Kutaramanawa disebutkan bahwa praktik penyembuhan tidak dapat dilakukan sembarang orang, dan dengan jelas disebutkan syarat-syarat, "Jika seseorang mengobati tanpa ilmu atau cara mengobati suatu penyakit, tapi (ia) tetap berusaha menyembuhkan orang sakit hanya demi upah, orang itu dapat diperlakukan sebagai pencuri."

"Raja yang berkuasa berhak memerintahkan hukuman mati bagi mereka yang mencoba menyembuhkan seorang Brahmana Hindu, tapi ia malah mati," sambungnya (Muljana, 1967).

Prasasti Balawi (1305 M), pada masa kerajaan Majapahit, juga menyebutkan profesi tuha nambi (tabib), kdi (dukun wanita), dan walyan (tabib tradisional). Sedangkan Prasasti Bendosari (1360 M) menyebutkan "janggan" untuk nama dukun desa.

Peracik dan penjual jamu pun muncul dalam prasasti Madhawapura dikenal dengan nama "acaraki" (Moelyono, 2018; Ullen Sentalu, 2020). Saat itu, seorang acaraki harus melakukan proses ritual seperti berpuasa dan berdoa, termasuk bermeditasi untuk mendapat petunjuk dan energi positif untuk penyembuhan, sebelum meracik jamu.

 


Nama yang Dikenal Sebelum Jamu

Resep Jamu Kunyit Asam untuk Dijual Praktis, Murah, dan Segar
Ilustrasi minuman tradisional Jamu. (Dewi Divianta/Liputan6.com)

Sebelum kata "jamu" dikenal luas, berbagai manuskrip Jawa Kuno menyebut jamu sebagai oesada atau "jampi." Kedua kata ini disebutkan dalam kitab Gatotkaca Sraya karya Mpu Panuluh pada masa pemerintahan Raja Jayabaya Kerajaan Kediri. (Sukini, 2018; Tilaar, 2014)

Kata "oesada" erat kaitannya dengan kesehatan, sedangkan "jampi" merupakan representasi dari racikan tanaman obat, baik sebagai minuman maupun obat luar yang dilengkapi doa untuk membantu proses penyembuhan.

Dalam Serat Kawruh Bab Jampi - Jampi Jawi dijelaskan bahwa penggunaan kata "jampi" digunakan kalangan kerajaan, dalam hal ini adalah Keraton Surakarta. Ketika diperkenalkan ke luar keraton oleh para biksu dan dukun, menurut strata sosial dan tata bahasa kromo madya dan ngoko, kata "jampi" diubah jadi "jamu."

Demikian juga dengan kata "jawi" dari tata bahasa kromo hinggil hingga digunakan di luar keraton sehingga berubah jadi kata "jawa." Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa asal kata "jamu" berasal dari masyarakat suku Jawa.


Tertuang di Relief Candi Borobudur

Ilustrasi
Ilustrasi bahan-bahan pembuat jamu. (dok. pexels/Glaucio Guerra)

Menguatkan itu, kisah jamu tertuang dalam relief Candi Borobudur. Mengutip laman Kemendikbud, 20 Januari 2023, pada relief Karmawibhangga Candi Borobudur, terdapat panil yang menggambarkan adegan pertolongan terhadap orang sakit, rasa bersyukur kesembuhan sakit, serta proses kelahiran yang dibantu dukun beranak.

Relief Karmawibhangga panil 18 menggambarkan seorang laki-laki mendapat perawatan beberapa wanita. Ada yang memijat kepalanya, maupun memegang tangan dan kakinya. Orang-orang di sekitarnya terlihat bersedih.

Kemudian, adegan pada panil 19 menunjukkan beberapa orang sedang memberi pertolongan pada laki-laki yang sedang sakit. Ada yang memijat kepalanya, menggosok perut dan dadanya, serta seseorang yang membawa obat. Di sampingnya, terdapat adegan yang memperlihatkan suasana bersyukur atas kesembuhan seseorang. 

Pada panil 78 juga terdapat adegan yang sama, yaitu seorang wanita sedang memegang lengan laki-laki yang sedang sakit, sementara beberapa orang sedang mengobati dua orang laki-laki sakit kepala dengan cara memegang kepalanya.

Sementara pada panil tiga terdapat adegan proses kelahiran. Tampak seorang wanita hamil sedang dibantu beberapa wanita, di antaranya seorang dukun beranak.


Aneka Jenis Tanaman Pembuat Jamu dalam Relief

Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko
PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko menaikkan harga tiket masuk terhitung 1 Mei 2017. (Liputan6.com/Switzy Sabandar)

Relief kelahiran juga terdapat di Candi Brahma kompleks Candi Prambanan. Proses kelahiran digambarkan dibantu seorang wanita yang dianggap sebagai dukun beranak. Data prasasti tidak langsung menyebut tentang masalah kesehatan, melainkan hanya nama-nama profesi yang dapat dihubungkan dengan kesehatan.

Dari data prasasti yang dikeluarkan sekitar abad 14 Masehi, terdapat nama-nama yang berhubungan dengan profesi kesehatan. Prasasti tersebut, yaitu prasasti Balawi, Sidoteka, Bendosari, Biluluk, dan Madhawapura.

Dijelaskan bahwa prasasti Madhawapura tidak memuat tahun, tapi dari gaya bahasanya, dapat diketahui bahwa itu berasal dari masa Kerajaan Majapahit. Kutipan dari bagian prasasti tersebut menggambarkan profesi yang ada saat itu, seperti pembuat pakaian, yang disebut abhasana; angawari sebagai pembuat kuali; dan acaraki yang merupakan peracik jamu.

Dicatat, "Tradisi meracik dan mengkonsumsi jamu sebagai minuman kesehatan Jawa, serta sebagai pembantu penyembuhan dan detoksifikasi tubuh awalnya berkembang pada masa kejayaan Hindu-Buddha."

Terdapat beberapa relief Candi Borobudur memperlihatkan aneka jenis tanaman, seperti nagasari, pinang, jamblang, pandan, dan kecubung yang diketahui sebagai tanaman pembuat jamu. Relief dengan gambaran sejenis juga terdapat di Candi Prambanan, Penataran, Sukuh dan Tegawangi (Karsiati, 2017).

 

Infografis Jamu Populer di Indonesia
Infografis jamu populer di Indonesia. (Dok: Liputan6.com Tim Grafis)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya