Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan larangan menggelar acara buka puasa bersama selama Ramadhan 2023. Larangan tersebut menyasar pada Menteri Kabinet Indonesia Maju, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri serta Kepala Badan/Lembaga.
Dalam surat bernomor 38 /Seskab/DKK/03/2023 yang diteken Sekretaris Kabinet Pramono Anung pada 21 Maret 2023, tertulis soal penyelenggaraan buka puasa bersama tersebut. Seluruh pejabat dan aparatur negara diminta mematuhi arahan Presiden itu dan meneruskannya kepada semua pegawai di instansi masing-masing.
Instruksi Jokowi tersebut menuai pro kontra di tengah masyarakat. Mengingat sebelum Ramadhan menyapa, masyarakat Indonesia tak terlarang menghadiri sebuah acara dengan jumlah pengunjung yang membludak. Selain itu, acara resepsi pernikahan pun juga banyak digelar dalam ragam bentuk acara.
Advertisement
Padahal buka puasa bersama atau yang sering kita sebut sebagai Bukber, telah seperti menjadi tradisi sendiri bagi kita, warga Indonesia untuk dilakukan tiap bulan Ramadhan.
Tak hanya dengan keluarga ataupun teman dekat, buka bersama bahkan bisa menjadi momen pertemuan dengan teman lama ataupun juga bersama rekan kerja. Buka bersama ini bisa menjadi salah satu ajang silaturahmi juga dengan kerabat ataupun orang yang sudah jarang atau tidak pernah ditemui lagi.
Melansir berbagai sumber, tidak diketahui dengan pasti kapan munculnya tradisi buka bersama di Indonesia ini dimulai. Namun ada yang meyakini bahwa tradisi buka puasa bersama sudah dilakukan sejak lama, bahkan sudah puluhan atau ratusan tahun silam.
Hal itu didasari oleh Hadis Nabi yang berbunyi: “Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.”
Fenomena Buka Puasa Bersama
Sementara menurut salah satu dosen Agama Islam Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (UNAIR) Yuly Sulistyorini S.KM., M.Kes. kelekatan aktivitas buka puasa bersama dengan umat Islam Indonesia merupakan pertemuan budaya ketimuran dan pertemuan Islam.
Yuly juga mengatakan bahwa fenomena buka puasa bersama di era sekarang banyak terdapat pada kalangan antar teman mulai dari SD hingga kuliah, bahkan teman kerja. Perlu ditekankan, bahwa Islam mengajarkan untuk tidak melupakan orang-orang yang membutuhkan seperti fakir dan miskin. Seperti halnya ajaran Rasulullah untuk berbagi kebahagiaan pada fakir dan miskin untuk bersama merasakan nikmatnya berbuka.
"Meskipun fenomena buka bersama dengan teman-teman lama itu merupakan nikmat berbuka juga, tetapi jangan lupa bahwa kita dianjurkan untuk mengajak fakir dan miskin untuk berbuka bersama dan berbagi kebahagiaan," terang Yuly, dilansir dari laman resmi Unair (Univesitas Airlangga).
Ia menambahkan, dalam Islam, berbuka puasa sudah banyak dituntunkan oleh Rasulullah SAW, baik ketika sebelum dan sesudah berbuka puasa. Sebelum sholat, Rasulullah biasanya berbuka dengan rotbh (kurma basah), jika tidak ada maka berbuka dengan tamr (kurma kering), jika tidak ada hanya berbuka dengan seteguk air.
Nikmat yang juga dapat dirasakan pada tradisi buka puasa bersama adalah ketika berkumpul dengan umat muslim lainnya. Hal itu membuat ukhuwah islamiyah antara saudara muslim juga tetap terjaga dengan baik. Berkumpul, bernostalgia, saling berbagi pengalaman, hingga diskusi positif dapat menambah nilai kenikmatan ketika moment buka puasa bersama.
Advertisement
Bukber Jangan Meninggalkan Ibadah Wajib
Selain itu, Yuly menegaskan bahwa meski merasakan nikmatnya buka puasa bersama, jangan sampai meninggalkan Ibadah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT. Karena terlalu senang dan berurai tawa bersama teman-teman, tidak boleh lupa menjalankan ibadah, terutama ibadah sholat.
“Semangat ketika menjalankan puasa dan taat kepada Allah, tetap dijaga di sebelas bulan selanjutnya, itu adalah momen yang bisa kita petik ketika menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Selain itu kita juga harus mensyukuri segala nikmat, salah satunya ketika nikmat berbuka puasa,” pungkasnya,
Sementara itu, Marzuki Wahid punya pendapat agak lain. Menurut Peneliti Fahmina-institute Cirebon, dan kandidat Doktor Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, setidaknya ada tiga tradisi ”buka puasa bersama” yang berbeda.
Melansir laman NU Online, yang pertama adalah buka puasa yang hanya diikuti oleh internal anggota lembaganya saja. Kelompok ini biasanya eksklusif dengan agenda yang umum saja, yakni meningkatkan keimanan dan ketakwaan, suatu ukuran yang sulit dibuktikan.
Ritus mereka pada umumnya selain makan dan minum bersama, juga ada ceramah agama oleh petinggi lembaga atau tokoh agama kondang yang sengaja diundang pada sebelum buka puasa atau sebelum shollat tarawih diselenggarakan.
Agenda Buka Puasa Bersama
Yang kedua, kelompok yang menyelenggarakan buka puasa bersama, tetapi tidak dimaksudkan untuk konsolidasi atau keakraban (ukhuwwah) internal anggota lembaganya, melainkan dikhususkan buat kelompok sosial lain yang membutuhkan, yakni masyarakat miskin kota (urban poor community) dan orang-orang yang dalam bepergian (musafir).
Kelompok ini sengaja menyediakan makanan dan minuman bagi berbuka puasanya kelompok sosial ini. Tidak ada agenda lain, kecuali semata-mata menyediakan bahan meterial buka puasa.
Ketiga, kelompok yang menggelar buka puasa bersama untuk anggota lembaga dan publik sekaligus. Tetapi publik yang terlibat dalam buka puasa kelompok ini sangat terbatas dan digelar secara reguler.
Agenda buka puasa kelompok ini selain makan dan minum bersama saat Maghrib tiba. Tidak ada agenda yang ketat, seperti ”keharusan” sholat Maghrib, Isya, dan Tarawih berjamaah sebagaimana kelompok pertama. Bahkan pelaksanaan sholat tarawih cenderung dilewat saja, karena dianggap sunnah dan agar lebih khusyu’ dapat dilaksanakan di rumah masing-masing pada malam hari.
"Agenda ”buka puasa bersama” yang menjadi tipikal keberagamaan orang kota ini ternyata adalah cerminan dari cara pandang kelompok-kelompok tersebut terhadap makna puasa itu sendiri," terang Marzuki Wahid.
Advertisement