Suka Duka Taman Safari Indonesia Bogor Rawat Satwa di Tengah Gelombang Panas

Merawat satwa yang terdampak gelombang panas dengan memahami bahwa pemanasan global dan perubahan cuaca yang ekstrem merupakan dua realitas yang kini harus dihadapi.

oleh Farel Gerald diperbarui 08 Agu 2023, 08:00 WIB
Diterbitkan 08 Agu 2023, 08:00 WIB
Kuda Nil Kerdil
Dua Kuda Nil Kerdil Taman Safari Indonesia (TSI) Bogor yang sedang berjemur di terik matahari. (dok. Liputan6.com/Farel Gerald)

Liputan6.com, Jakarta - Bukan hanya manusia yang tidak nyaman dan menderita akibat cuaca yang semakin panas. Satwa-satwa juga merasakan dampak yang sama, bahkan mungkin lebih parah. Hal itu pula yang diperhitungkan oleh Taman Safari Indonesia Bogor.

"Iklim itu hal yang gak bisa kita kontrol, jadi kita belajar memitigasi hal tersebut (perubahan iklim) dulu," ungkap Alexander Zulkarnain, Wakil Presiden dari Media Event dan Digital Taman Safari Indonesia saat ditemui di Bogor pada Kamis, 3 Agustus 2023.

Alex menjelaskan, untuk merawat satwa yang terdampak gelombang panas secara umum adalah dengan memahami bahwa pemanasan global dan perubahan cuaca yang ekstrem merupakan dua realitas yang kini harus dihadapi. Kedua fenomena ini adalah hasil dari puluhan tahun pertumbuhan industri dan konsumsi energi yang tidak berkelanjutan.

"Meski kita tidak bisa membalikkan dampaknya dalam waktu singkat, kita tetap bisa berusaha mengurangi tingkat kerusakan yang mungkin terjadi di masa depan," ucap Alex.

Memahami berbagai metode untuk meredam dampak perubahan iklim sangatlah krusial menurutnya. Ini termasuk memahami konsep teknologi hijau, praktik penghematan energi, dan penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan. "Kita bisa menerapkan strategi penyesuaian," ujar Alex.

Dia berpendapat bahwa sangat penting untuk merancang dan melaksanakan strategi penyesuaian yang khusus, seperti membangun struktur infrastruktur yang ramah lingkungan, merancang sistem pertanian yang dapat bertahan dalam berbagai kondisi cuaca, dan mengadvokasi gaya hidup sehari-hari yang berkelanjutan.

Belum Ada Perawatan Lebih Jauh

Ilustrasi hewan panda
Ilustrasi hewan panda sebagai hewan berbulu lebat yang bisa menetralisir suhu panas. (Photo by Yu Wang on Unsplash)

Menanggapi masalah yang dihadapi oleh satwa akibat perubahan iklim, Alex menekankan bahwa, pada saat ini, belum ada tindakan medis khusus yang dapat diberikan untuk mengatasi permasalahan ini. Menurutnya, langkah terefektif yang dapat dilakukan adalah memastikan bahwa satwa-satwa tersebut tetap nyaman dan aman dalam kondisi iklim yang semakin panas.

"Mengoptimalkan lingkungan hidup satwa, misalnya dengan menyediakan tempat berlindung yang cukup dan akses ke air bersih, dapat membantu mereka beradaptasi dengan suhu yang lebih tinggi," ujar Alex.

Selain itu, pihaknya juga memastikan satwa mendapatkan makanan yang cukup dan nutrisi yang seimbang karena stres akibat suhu tinggi dapat meningkatkan kebutuhan energi dan nutrisi mereka.

"Kita juga memastikan bahwa para penjaga satwa dilatih dan mendapat pengetahuan terkini tentang bagaimana merawat dan menjaga satwa di bawah iklim yang semakin panas," kata Alex.

Sementara itu, Cacih Lidia, seorang Keeper Giant Panda, membagikan pengalamannya dalam merawat satwa-satwa saat cuaca panas ekstrem melanda. Berdasarkan pengalamannya, cuaca panas berdampak signifikan pada satwa, seperti  panda raksasa sangat sensitif terhadap perubahan suhu. Dalam suhu yang panas, panda dapat mengalami stres panas yang berpotensi mempengaruhi kesehatan dan perilaku mereka.

"Antisipasi sendiri yang dilakukan oleh tim Safari Indonesia adalah dengan budidaya holtikultura yaitu penanaman pohon dan penghijauan," kata Cacih. Dengan demikian, sangat penting bagi penjaga seperti Cacih untuk memantau kondisi satwa dan membuat penyesuaian yang diperlukan untuk menjaga kesejahteraan mereka.

Menciptakan Lingkungan Sejuk

Integrated Waste Management
Integrated Waste Management (IWM) yang mulai beroperasi sejak Maret 2023, yakni empat bulan yang lalu. (Liputan6.com/Farel Gerald)

Cacih juga menjelaskan bahwa tim mereka telah menciptakan berbagai fasilitas seperti air terjun, kolam renang, dan kolam air. Fasilitas-fasilitas ini dirancang untuk memberikan lingkungan yang lebih sejuk bagi satwa, dan memungkinkan mereka untuk mendinginkan tubuh mereka saat suhu meningkat.

Cacih menerangkan perbedaan antara satwa yang berbulu dan tidak berbulu dalam menanggapi cuaca panas. Menurutnya, satwa berbulu lebat memiliki kemampuan alami untuk menetralisir suhu, menjadikan mereka lebih tahan terhadap panas dibandingkan dengan satwa yang tidak berbulu. Untuk itu, ia menekankan pentingnya memantau satwa yang tidak berbulu dengan lebih hati-hati dalam iklim panas.

Cacih menjelaskan beberapa gejala dapat dilihat pada satwa yang terpengaruh oleh iklim panas. Menurutnya, jika suhu terlalu panas, satwa berbulu lebat mungkin akan menunjukkan perilaku yang tidak biasa.

Selain itu, satwa juga bisa mengalami kondisi medis serius seperti heat stroke dan hipotermia. Sebagai contoh, ia menyebutkan pernah menangani kasus seekor anjing yang pingsan diduga akibat kepanasan dan kelelahan setelah atraksi. Kasus itu langsung ditindaklanjuti dengan perawatan medis di Rumah Sakit Satwa.

Peduli Isu Sampah

Maggot Kering
Maggot yang diolah dari sampah organik IWM, nantinya akan dimanfaatkan untuk salah satu bahan pembuatan kosmetik, sampai bahan baku utama pembuatan tepung maggot. (dok. Liputan6.com/Farel Gerald)

Selain fokus pada konservasi satwa dan hayatinya, Taman Safari Indonesia (TSI) Bogor juga serius mengelola sampah. Mereka telah mengimplementasikan sistem Integrated Waste Management (IWM), yang mulai beroperasi sejak Maret 2023. Sistem ini dirancang untuk mengelola dan memproses berbagai jenis sampah yang dihasilkan di TSI.

Irwan Setiabudi, penanggung jawab IWM, menjelaskan bahwa TSI menghasilkan sekitar 20 ton sampah per hari. Mengelola jumlah sampah sebanyak ini tentunya merupakan tantangan, namun dengan IWM, mereka dapat memastikan bahwa sampah tersebut diolah dengan cara yang paling efisien dan ramah lingkungan.

"Sampah plastik, aluminium, kertas, kardus akan di-press dan dijual," kata Irwan.

Dengan pendekatan ini, sampah yang tidak dapat diurai atau didaur ulang dapat dikumpulkan dan dijual, sehingga tidak hanya mengurangi beban pada tempat pembuangan sampah lokal, tetapi juga memberikan pendapatan tambahan. Sementara, sampah organik diolah menjadi pakan maggot, atau larva lalat, yang kemudian digunakan sebagai makanan untuk satwa di TSI.

"Kami juga berencana untuk memberdayakan masyarakat dan mendidik masyarakat sekitar untuk mengolah sampah organik untuk maggot, yang 50 persen digunakan untuk pakan satwa," ungkap Irwan.

Infografis Penjelasan Cuaca Panas Melanda Wilayah Indonesia. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Penjelasan Cuaca Panas Melanda Wilayah Indonesia. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya