Mengapa Perempuan Menanggung Beban Terberat dari Krisis Iklim di Asia?

Krisis iklim disebut telah memperparah dampak ketimpangan gender bagi para perempuan, terutama mereka yang bergelut di sektor pertanian.

oleh Asnida Riani diperbarui 20 Mei 2024, 04:00 WIB
Diterbitkan 20 Mei 2024, 04:00 WIB
Petani India Panen Bunga Marigold Jelang Diwali
Seorang perempuan mengumpulkan bunga marigold, untuk digunakan dalam ritual dan dekorasi, menjelang Festival Diwali di pinggiran Jammu, India, Kamis (9/11/2023). (AP Photo/Channi Anand)

Liputan6.com, Jakarta - Saat ini, perempuan disebut sebagai kelompok paling rentan terdampak krisis iklim. Laporan Dana Kependudukan PBB (UNFPA) menyebut bahwa 14 negara paling terdampak kerusakan iklim cenderung memiliki populasi perempuan dan anak perempuan yang rentan terhadap risiko meninggal saat melahirkan, menikah dini, mengalami kekerasan berbasis gender, serta jadi pengungsi dan tunawisma akibat bencana.

Lewat rilis pers yang diterima Lifestyle Liputan6.com, Selasa, 14 Mei 2024, Monash University membicarakan salah satu isu krusial yang kurang tersorot saat KTT COP28 berlangsung di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), akhir tahun lalu. Yang dimaksud, yakni pengenalan Transisi Berbasis Responsif Gender yang Adil dan Kemitraan Aksi Iklim.

Pihaknya menyebut, "Hanya 68 negara yang bersuara mendukung hubungan intrinsik antara kesetaraan gender dan transisi iklim yang adil." Ini dianggap ironi, lantaran laporan UN Women yang dirilis di konferensi tersebut memperkirakan "perubahan iklim akan mendorong lebih dari 158 juta perempuan dan anak perempuan ke dalam jurang kemiskinan, serta memicu kerawanan pangan terhadap lebih dari 236 juta orang di seluruh dunia pada 2050."

Para mitra Transisi Berbasis Responsif Gender yang Adil dan Kemitraan Aksi Iklim diklaim telah berkomitmen meningkatkan analisis gender dari pendanaan perubahan iklim, mendukung pengumpulan data terpilah berdasarkan jenis kelamin, dan meningkatkan kesempatan kerja yang setara. Namun, realisasinya masih jauh dari berhasil karena kesenjangan gender.

Menurut laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mengenai status perempuan di sektor pertanian, belum ada upaya substansial untuk memprioritaskan peluang, kebutuhan, dan keterlibatan perempuan di bidang terkait. Ini terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Dampak Tidak Proporsional

harga beras di tingkat penggilingan
Petani merontokkan padi jenis baligo di sawahnya kawasan Sukamakmur, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (27/04/2024). (merdeka.com/Arie Basuki)

Fakta tersebut sejalan dengan laporan Indeks Risiko Iklim Global 2021 yang menyebut sebagian besar negara paling terdampak perubahan iklim adalah negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Perekonomian negara-negara ini sangat bergantung pada sektor pertanian dan sistem pangan berbasis pertanian.

Kekeringan, banjir, serta gelombang panas yang lebih sering dan intens secara langsung menghambat pertumbuhan tanaman, menyebabkan degradasi tanah, dan membahayakan sistem agri-food. Kondisi tersebut membuat penduduk pedesaan di Asia Selatan dan Asia Tenggara, tempat perempuan mendominasi angkatan kerja di bidang pertanian, menanggung dampak tidak proporsional dari krisis iklim.

Dijelaskan bahwa sistem agri-food global memainkan peran penting dalam mata pencaharian perempuan, khususnya perempuan muda berusia 15--24 tahun, dibanding laki-laki di banyak negara yang bergantung pada pertanian. Di Asia Selatan, misalnya, 71 persen perempuan terlibat dalam sektor agri-food dibandingkan dengan pria sebesar 47 persen.

Di Sri Lanka, perempuan lanjut usia diketahui bergantung pada sektor agri-food ketika sumber pendapatan lain. "Terlepas dari peran dan kontribusi mereka yang signifikan, perempuan sering kali menghadapi kondisi kerja yang menantang dan terbatasnya peluang ekonomi karena ketidaksetaraan gender yang meluas," kata keterangan tersebut.


Ketidakamanan Kesehatan dan Ekonomi

Potret Petani India Saat Beraktivitas di Sawah
Sejumlah perempuan bekerja di sawah di pinggiran Gauhati, India, Jumat (30/7/2021). Hampir 60% penduduk India menggantungkan mata pencahariannya dari pertanian. (AP Photo/Anupam Nath)

Meski hilangnya mata pencaharian yang disebabkan perubahan iklim berdampak langsung terhadap kesehatan semua orang, ada beberapa dampak gender yang memengaruhi kesehatan perempuan. Mengingat ketergantungan petani pada pekerjaan di luar ruang, risiko kesehatan yang berhubungan dengan cuaca panas lebih banyak memengaruhi perempuan.

Kondisi ini bahkan dikaitkan dengan peningkatan angka komplikasi kehamilan. Ketika dampak perubahan iklim meningkatkan risiko kelangkaan pangan dan kelaparan, serta kurangnya program bantuan pangan yang diprakarsai pemerintah, perempuan sering kali memprioritaskan kebutuhan anggota keluarga laki-laki sebagai pencari nafkah, meningkatkan angka malnutrisi dan anemia pada perempuan.

Isu kesehatan mental juga jadi sorotan yang dipicu hilangnya mata pencaharian yang disebabkan stres, termasuk gangguan stres pascatrauma (PTSD). Perempuan terpaksa menunda, bahkan mengabaikan pelayanan kesehatan, sehingga mengakibatkan komplikasi kehamilan, keguguran, buruknya perencanaan keluarga dan penggunaan kontrasepsi, kesalahan penanganan penyakit kronis, serta kekerasan dalam rumah tangga.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa di negara-negara seperti Vietnam dan India, tekanan ekonomi dapat memaksa remaja perempuan jadi "korban pernikahan dini." Akibatnya, mereka putus sekolah, hamil di bawah umur, serta meningkatnya kekerasan berbasis gender dan pembunuhan terhadap perempuan.


Dukung Peran Penuh Perempuan

Petani Perempuan
Potret seorang perempuan gambut menjemur padi di halaman rumah. Peran perempuan dalam pengelolaan pertanian di lahan gambut semakin terkisis. (Liputan6.com/dok JMGJ)

Monash University menyebut bahwa kini, perempuan berada di barisan terdepan dalam upaya transisi iklim yang adil. Mereka terlibat dalam advokasi, gerakan sosial, pertanian, dan pembangunan ekonomi ramah lingkungan.

Sayang, kegagalan untuk sepenuhnya mengakui kepemimpinan perempuan, termasuk di KTT COP28, dan peran integral para perempuan dalam sektor agri-food, menyebabkan mereka sering menghadapi tantangan sistemik. Ini kemudian menghambat partisipasi penuh para perempuan dalam membentuk transisi iklim yang berkelanjutan, inklusif, dan berkeadilan gender.

Inisiatif yang dipimpin perempuan, seperti Pertanian Tahan Iklim yang Dipimpin Perempuan (WCRF), menjanjikan reposisi dan promosi perempuan sebagai petani, pemimpin, dan agen perubahan untuk memberdayakan kesehatan dan kesejahteraan, ketahanan pangan, mata pencaharian, serta sumber daya alam di kalangan komunitas pertanian.

Ada pula kebutuhan mendesak terkait kebijakan dan program responsif gender, berkeadilan gender, dan transformatif. Upaya tersebut dapat mencakup produk asuransi berbasis kebutuhan yang dirancang untuk memitigasi dampak kesehatan terkait perubahan iklim, serta program bantuan berbasis uang tunai yang mengintegrasikan layanan kesehatan.

Infografis Bencana-Bencana Akibat Perubahan Iklim
Infografis Bencana-Bencana Akibat Perubahan Iklim. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya