Liputan6.com, Jakarta - Jumat malam, 17 Januari 2025, menjadi hari pembukaan Cultural Clashing, pameran seni yang menampilkan karya dari 16 artis dari berbagai disiplin seni. Beberapa dari mereka bahkan tak ingin disebut seniman karena merasa terminologinya terlalu 'berat' dibandingkan karya yang mereka hasilkan.
Pameran seni bertema Cultural Clashing Vol. 01 itu menjadi sentral dari gelaran LIMITLESS, yakni sebuah perayaan kreativitas tanpa batas yang mengajak pengunjung untuk mengeksplorasi berbagai potensi yang ada dalam diri melalui seni, musik, dan pengalaman yang bermakna. Benang merah yang ingin digarisbawahi oleh Zarani Risjad, sang kurator, adalah subkultur masyarakat urban di Indonesia yang terbentuk karena musik, khususnya di Bandung dan Jakarta.
Baca Juga
Badai Bicara Tegas Soal Royalti untuk Para Pencipta Lagu, Berharap Bisa Mewujudkan Sistem Pembayaran Secara Adil
Genta Garby Jadi Solois, Luncurkan Single Baru Senandung Hidupku tentang Ungkapan Kerinduan yang Mendalam
Mengenal Apa Itu Tangga Nada Pentatonis: Definisi, Jenis, dan Penerapannya dalam Musik
"Jadi apa yang terjadi itu, kita lihat di mana seni dan musik bisa membentuk subkultur yang kita kenal hari ini. Khususnya, ini sebenarnya seniman-seniman yang bergerak di awal tahun 2000. Dari awal tahun 2000," katanya ditemui tim Lifestyle Liputan6.com di Jakarta.
Advertisement
Tak heran bila karya yang tampil dibuat oleh para seniman, mereka yang pernah atau masih berkecimpung di dunia musik sejak awal 2000an, atau bahkan akhir 90an, maupun yang lahir dari komunitas musik. Ada Sir Dandy, akrab disapa Acong, yang merupakan member Teenage Death Star, band indie asal Bandung yang terbentuk di awal 2000.
Ada pula nama Dendy Darman yang tak lain merupakan pendiri Uncle 347, brand distro legendaris asal Bandung. Begitu pula dengan partnernya, Lucas, yang akrab disapa Lucky. Masing-masing menghasilkan karya seni berbeda. Lucas bahkan menggandeng anak lelakinya untuk tampil di pameran tersebut dengan menampilkan tiga karya seni.
"Pameran ini lebih mengilustrasi karya-karya seni yang terbentuk dari musik," ujar perempuan yang akrab disapa Rani itu.
Subkultur Urban yang Tetap Meng-Indonesia
Rani menjelaskan subkultur di Indonesia pada dasarnya sangat dipengaruhi musik dan budaya Barat. Di era 90an akhir hingga awal 2000an, dunia musik global begitu banyak dipengaruhi musisi Eropa. Hal itu tercermin lewat karya dan produk yang dihasilkan para pekerja kreatif di Bandung dan Jakarta saat itu.
"Kayak Uncle347, mereka tuh berhasil untuk terinspirasi dari budaya Barat, tapi mereka meng-Indonesiakan hal-hal itu. Jadi, it's very unique," ujarnya.
Begitu pula dengan karya-karya yang dipamerkan tersebut. Rani mencontohkan koleksi karya Oomleo yang menampilkan tema Kemayoran. Walau kawasan yang pernah menjadi lokasi bandara internasional pertama di Indonesia itu eksis jauh sebelum subkultur muncul, itu tetap memberi kebanggaan bagi warga negara Indonesia.
"Itu juga ada di cerita Tintin. Ada satu isu yang membahas Bandara Kemayoran... dan karya Oomleo itu meromantisasikan hari-hari si bandara itu," ujarnya.
Begitu pula dengan Saleh Husein yang mengangkat landmark penting di Jakarta ke dalam karyanya. "Bukan Monas, tapi salah satu landmark yang ada di Jakarta. Ada juga yang menggambarkan kemacetan yang ada di Jakarta," kata Rani seraya menyebut seniman itu juga berkolaborasi dengan anaknya.
Advertisement
Tak Sekadar Pameran Seni
Pameran seni itu tak hanya menampilkan karya untuk dipandang dan dinikmati secara visual tetapi juga bisa disentuh dan didengar lewat beragam aktivitas pelengkap. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah sablon tepat di tengah-tengah area pameran.
Sekitar dua tiga orang bergantian membuat sablonan dalam berbagai medium, terutama kertas, yang marak di kalangan anak muda awal 2000an. Tapi, pengunjung juga bisa belajar membuat karya sendiri lewat beragam program workshop insidentil di bawah format Art Jam.
Dalam rilis yang diterima Lifestyle Liputan6.com, itu adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menyalurkan kreativitas dan menemukan inspirasi baru. Kalian bisa mengikutip workshop screenprint, tufting, hingga upcycle yang dimentori berbagai pihak ternama. Tak hanya itu, Art Jam juga menampilkan pertunjukan musik dari sejumlah artis yang terlibat dalam pameran seni.
Limitless juga menghadirkan Uplift Market sebagai tempat untuk berburu barang-barang esensial berkualitas. Bazaar ini menawarkan produk-produk mulai dari perawatan kulit, aksesori, wewangian, hingga barang-barang untuk mempercantik rumah.Â
Bisa Wisata Kuliner
Dengan suasana yang tenang dan penuh inspirasi, Uplift Market memberikan kesempatan untuk menemukan barang-barang yang dapat meningkatkan kualitas hidup dan menambah energi positif pada 2025. Limitless juga menghadirkan Savor the Flavor Market yang menyajikan pilihan makanan yang memadukan cita rasa tradisional dan kuliner terkini. Market ini menawarkan pengalaman kuliner yang mengutamakan rasa dan keunikan dalam setiap hidangan.Â
Selain acara tersebut, ASHTA District 8 SCBD juga menghadirkan Good Vibes Only Shopping. Itu adalah program belanja yang memberikan keuntungan lebih. Mulai 17 Januari hingga 16 Februari 2025, pengunjung bisa mendapatkan voucer belanja Rp100.000 dengan pembelanjaan minimal Rp750.000 di seluruh tenant dan pop-up exhibition. Belanja semakin menarik dengan tambahan voucher belanja Rp100.000, jika berbelanja minimal Rp1,5 juta antara 27 Januari hingga 2 Februari 2025.
ASHTA District 8 SCBD, salah satu proyek ASRI (anak perusahaan Agung Sedayu Group). Itu adalah perusahaan pengembang dan pengelola properti yangtidak hanya fokus pada pembangunan bangunan, tetapi juga menciptakan ruang-ruang yang hidupdan menginspirasi.
Â
Advertisement