Mencegah Jakarta Tenggelam

Amblasnya tanah Jakarta ancaman nyata, sekitar 40 persen atau 24 ribu hektar kini berada di bawah permukaan air laut.

oleh Liputan6 diperbarui 15 Des 2014, 04:00 WIB
Diterbitkan 15 Des 2014, 04:00 WIB
Banjir-Jakarta
(Liputan 6 TV)

Liputan6.com, Jakarta - Jakarta ibarat cawan raksasa. Sebagai wilayah delta, 13 sungai membelah Ibukota. Berhilir ke teluk Jakarta, ketiga belas sungai ini setiap saat mengalirkan jutaan meter kubik air ke wilayah utara Jakarta.

Inilah yang membuat wilayah Jakarta Utara rawan tergenang, terutama oleh limpasan air laut atau rob. Namun sejatinya rob menjadi bukti terus menurunnya permukaan tanah di Jakarta.

Jakarta tak pernah mati. Bangunan-bangunan tinggi berlomba menggapai angkasa. Saat ini lebih dari 900 gedung bertingkat, baik hunian maupun perkantoran menjulang di langit Jakarta. Belum termasuk 150-an gedung dalam proses pembangunan.

Beban teramat berat harus dipikul ibukota. Padahal kondisi tanah Jakarta terhitung lunak dan labil. Areal penopang seluas 65 ribu hektar ini didominasi lempung dan sedimen lumpur yang merupakan hasil endapan 13 sungai yang membelah Jakarta.

Amblasnya tanah Jakarta jelas ancaman nyata. Sekitar 40 persen atau 24 ribu hektar kini berada di bawah permukaan air laut.

Seperti di wilayah Muara Baru dan Muara Angke, Jakarta Utara dalam kurun 14 tahun terakhir, permukaan tanah di sana sudah turun hingga 2 meter. Kondisi itu diperkirakan masih akan terus terjadi.

Penyedotan  air tanah secara tidak terkendali diduga menjadi penyumbang utama turunnya permukaan tanah. Menghadapi ancaman tenggelamnya Jakarta, pemerintah sejatinya tidak berpangku tangan.

Pompa air disiagakan dan dikonsentrasikan di wilayah titik lebih rendah dari permukaan air laut, seperti di wilayah Penjaringan, Jakarta Utara. Pengerukan sungai juga menjadi pilihan. Seperti yang dilakukan di Kali Sunter, Jakarta Utara. Tujuannya agar air lebih lancar menuju muara.

Seperti Kampung Apung yang terletak di Kelurahan Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat, ini bukan kampung nelayan atau di bibir sungai, melainkan wilayah titik terendah di Jakarta. Sekitar 130 keluarga di kampung ini setiap hari dipaksa akrab dengan genangan air sejak lebih dari 2 dekade.

Lahir dan tumbuh di wilayah yang dahulu bernama Kampung Teko, Susandi paham betul dataran ini dahulu lebih tinggi ketimbang daerah sekitar.

Menjadi tempat mengungsi warga sekitar ketika banjir datang pada awal tahun 1990-an. Warga Kampung Apung tak mampu mengejar penurunan tanah Jakarta dan masifnya pengurukan daerah sekitar.

Ruang gerak terbatas, kini Kampung Apung menjadi lokasi banjir permanen. Bahkan di bawah hamparan eceng gondok terdapat sekitar 3.800 makam yang belum juga direlokasi. Saksikan selengkapnya dalam tautan video yang ditayangkan Potret Menembus Batas SCTV, Minggu (14/121/2014), di bawah ini. (Dan/Riz)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya