Asal Usul Penerapan Sistem e-Budgeting di Pemprov DKI

Gagat dan timnya pun mulai membuat master desain sistem e-budgeting untuk APBD DKI pada 2014 lalu.

oleh Andi Muttya Keteng diperbarui 12 Mar 2015, 02:27 WIB
Diterbitkan 12 Mar 2015, 02:27 WIB
Rapat Memanas, Mediasi Ahok dengan DPRD DKI Gagal
Wakil Ketua DPRD DKI Abraham 'Lulung' Lunggana dan peserta rapat meninggalkan ruang mediasi pembahasan APBD 2015 antara Pemprov DKI dengan DPRD DKI Jakarta di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Kamis (5/3/2015) . (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - DPRD DKI hari ini menggelar rapat hak angket untuk menyelidiki Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI, yang dicurigai mengandung anggaran 'siluman', menyusul tudingan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

Agenda rapat tersebut adalah mendengarkan penjelasan konsultan sistem e-budgeting untuk Pemprov DKI, Gagat Sidi Wahono. Gagat menuturkan kepada panitia hak angket, tentang asal muasal penerapan e-budgeting bisa diterapkan di Pemerintah DKI Jakarta.

"Kami sebenarnya tidak pernah tawarkan sistem e-budgeting ke DKI. Kami diundang," kata Gagat dalam rapat Hak Angket, Jakarta, Rabu (11/3/2015).

Menurut pria asal Jawa Timur ini, pada akhir 2013 Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) dan ada Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) berkunjung ke Pemkot Surabaya, untuk membahas perihal e-budgeting. Kemudian, Pemkot Surabaya sebagai perintis sistem ini memperkenalkan Pemprov DKI kepada dirinya.

Setelah itu, kata Gagat, kerja sama pun dimulai. Dia beserta 4 orang timnya direkrut untuk menjadi konsultan atau tim IT guna menerapkan sistem penganggaran elektronik tersebut di Jakarta. "Sistem itu sudah lama kami bangun, ada tim yang membangun," sambung dia.

Gagat dan timnya pun mulai membuat master desain sistem e-budgeting untuk APBD DKI pada 2014 lalu. Namun, karena struktur nya lebih kompleks dari Pemkot Surabaya, maka dibutuhkan penyesuaian yang banyak. Dari struktur SKPD hingga pola anggarannya, tanpa mengubah prinsip dasar e-budgeting.

Gagat mengaku, meski sempat bernaung di bawah Universitas Airlangga, tetapi ketika kerja sama dengan Pemprov DKI dirinya tak membawa institusi, melainkan secara perorangan. Dia menegaskan sistem e-budgeting ini tidak dijual ke pemerintah, dia hanya mendapatkan honor sebesar Rp 50 juta lebih untuk satu proyek.

"Saya hanya berempat. Itu pun pada saat awal dan pada saat pick  penyusunan APBD. Kita kan harus menerima konsultasi dari SKPD. Kalau saya sendiri nggak cukup. Ada 4 orang disitu. Kalau sudah selesai, kami tinggal 1-2 orang untuk mengawal supaya sistem nggak hang," jelas Gagat.

Dia memastikan walau pun bertanggungjawab pada sistem e-budgeting, namun dirinya tak mengetahui keseluruhan anggaran yang dimasukkan ke dalam sistem itu. Sejauh ini, apa yang dia lakukan atas permintaan Pemprov DKI. Jika ada yang harus disesuaikan, pihaknya hanya menjalankan fungsi teknis.

"Meski pun ada data (APBD) itu di server, saya tidak mempunyai kepentingan untuk melihat data, apalagi mempublikasikan apabila tanpa izin. Kecuali kalau diminta, Pak Gagat tolong buat report ini, kami buatkan. Kami profesional," kata Gagat.

Pada 2015, Gagat mengaku, peran pihaknya sudah sangat kecil sekitar 20% pada akhir-akhir pencetakan APBD DKI. Karena filenya besar, maka membutuhkan memori yang juga besar. Di situ lah ia berfungsi mengatur sistem e-budgeting.

"Berkaitan dengan posisi kami, sebenarnya sistem itu selesai 2014. Cuma Pemda DKI minta saya tetap mendampingi, itu pun mendampingi pada proses penyusunan," kata dia.

Gagat menjelaskan, sistem e-budgeting merupakan alat untuk menyusun RAPBD DKI. Prinsipnya, ada di pola input anggaran. Jika yang selama ini manual menggunakan Microsoft Excel, dengan e-budgeting maka input pun secara elektronik atau online, dan menggunakan sistem keamanan dengan password.

"Dengan sistem e-budgeting, tinggal query aja seperti orang beli online," kata Gagat. (Rmn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya