Luhut Pandjaitan: Jokowi Bukan Neoliberal

Tidak ada sistem neoliberal yang dijalankan pemerintahan Jokowi-JK dalam setiap mengeluarkan kebijakan

oleh Luqman Rimadi diperbarui 31 Mar 2015, 19:30 WIB
Diterbitkan 31 Mar 2015, 19:30 WIB
Luhut Pandjaitan
Luhut Pandjaitan (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah kembali menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 500 per liter yang mulai diberlakukan pada Sabtu 28 Maret 2015. Atas kebijakan ini, pemerintah juga dituding telah menjalankan sistem neoliberal dalam pengelolaan ekonomi dan meninggalkan ajaran Trisakti yang dianut Bung Karno.

Kepala Kantor Staf Kepresidenan Luhut Binsar Pandjaitan menanggapi tudingan yang dialamatkan ke pemerintah tersebut. Menurutnya, tidak ada sistem neoliberal yang dijalankan pemerintahan Jokowi-JK dalam setiap mengeluarkan kebijakan.

"Jadi kalau ada yang mengatakan neoliberal itu, saya ingin tanya ngerti nggak dia neoliberal itu apa? Saya ingin mengundang kalau ada mengatakan bahwa program Pak Jokowi neolib. Saya ingin tahu definisi neolib dan mana programnya yang neolib?" ujar Luhut di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (31/3/2015).

‎Ia menilai, selama 6 bulan menjadi presiden, sejumlah program yang telah dibuat Presiden Jokowi selalu yang berpihak terhadap rakyat. "Program dari Presiden Jokowi kalau kita lihat semua mengacu pada kepentingan rakyat banyak. Setiap pertemuan kami, meeting kami, rapat kami, Presiden Jokowi selalu mengatakan kepentingan rakyat banyak dan itu saya rasakan," kata dia.

Luhut yang pernah menjadi menteri pada kabinet yang dipimpin Abdurrahman Wahid dan berkarier militer sejak zaman Orde Baru tersebut mengungkapkan, Jokowi-JK saat ini sangat berbeda pemerintahan sebelumnya bahkan saat dipimpin Presiden Soeharto.

"Saya bukan orang yang datang baru kemarin, saya sudah mengalami pemerintahan dari zaman Pak Harto sampai sekarang ini. Jadi saya bisa melihat ada satu keistimewaan yang diberikan Presiden Jokowi kepada rakyat," lanjutnya.

Ia sendiri menganggap kenaikan harga BBM tidak melanggar undang-undang dan dapat dilakukan tanpa melalui persetujuan lembaga legislatif demi menjaga jumlah subsidi yang dikucurkan pemerintah.

"Ini kan sebenarnya mengacu kepada undang-undang APBN Perubahan yang sudah ada. Bahwa ditentukan di situ jumlah subsidi tertentu. Jadi tidak dalam konteks naik turunnya rupiah, tapi dalam konteks kita harus menjaga jumlah subsidi itu harus seperti itu," pungkas Luhut Pandjaitan.

‎Berbeda dengan Luhut, Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla justru mengungkapkan kenaikan harga BBM bersubsidi terjadi karena nilai rupiah melemah dibanding dollar Amerika Serikat (AS). "Kita tahu rupiah sekarang masih Rp 13.000 lebih per dollar AS, minyak juga naik lagi," kata Wapres dalam kunjungan kerjanya di Jambi beberapa waktu lalu. ‎ (Gen/Yus)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya