Liputan6.com, Jakarta - Lahir di Garut pada 30 September 1937, Benjamin Mangkoedilaga kecil tak pernah bercita-cita menjadi hakim. Pria yang menempuh pendidikan dasar dan menengah di sekolah Katolik Kanisius ini hanya bercita-cita menjadi seorang tentara.
Takdir berkata lain. Matanya yang rabun jauh, membuat cita-cita Benjamin kandas. Ia gagal masuk Akademi Militer Nasional. Ia pun kemudian mengikuti ayahnya, berkarier di bidang hukum.
Baca Juga
Berkiprah di dunia hukum membuat Benjamin menjadi salah satu hakim yang disegani. Sikapnya yang berani serta kejujuran dan kredibilitas yang sudah tak diragukan lagi, mengantarnya sebagai ikon hakim berintegritas tinggi di Tanah Air.
Advertisement
Jauh sebelum menjadi tokoh hakim berpengaruh, pada 1962-1967, Benjamin mengabdi sebagai asisten dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, almamater yang telah membawanya menjadi seorang sarjana hukum. Â
Kemudian dia banting setir, dari dunia akademis ke meja hijau. Pada 1967-1974, Benjamin mulai meniti karier dengan menjadi hakim di Pengadilan Negeri Rangkas Bitung. Ia kemudian dipindahkan ke Bali untuk menjadi hakim di Pengadilan Negeri Denpasar pada 1974-1979.
5 tahun mengabdi di Bali, Benjamin kembali ke ibukota dengan menjadi hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 1979-1987.
Prestasi yang terus ditorehkannya, membuat ia diangkat menjadi wakil ketua Pengadilan Negeri Bandung pada 1982-1987. Kariernya pun terus menanjak menjadi ketua Pengadilan Negeri Cianjur pada 1987-1991.
'Melawan' Pembredelan TEMPO
Nama Benjamin semakin menjulang setelah dia, sebagai ketua majelis hakim PTUN, mengabulkan gugatan Majalah Tempo yang dibredel Orde Baru pada 21 Juni 1994. Putusan Benjamin dinilai sebagai keputusan sangat berani. Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto sangat berkuasa di segala bidang termasuk yudikatif.
Tak lama ia kemudian dipercaya menjadi hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Medan (1996-1998) dan kembali ke pusat menjadi hakim di PTTUN Jakarta pada 1998-1999.
Benjamin menerima Suardi Tasrif SH Award pada 1997 dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Penghargaan diberikan kepada individu, kelompok, lembaga yang gigih menegakkan kebebasan pers, kebebasan berekspresi, nilai-nilai keadilan, dan demokrasi.
Keberanian Benjamin memutus suatu perkara juga telah diketahui saat ia mengabulkan gugatan 5 perusahaan future trading terhadap Menteri Perdagangan yang mencabut SIUP mereka.
Pada 2000 hingga 2002, Benjamin yang pernah menjuarai lari 400 meter, 800 meter, dan 400 meter pun mencapai puncak karier menjadi hakim agung di Mahkamah Agung.
Selain berkarier sebagai hakim. Benjamin juga pernah aktif di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Badan Arbitrase Nasional, Dewan Pers, dan Partnership to Support Governance Reform in Indonesia.
Kini hakim pemberani itu telah tiada. Pada 21 Mei 2015, mayoret drum band pertama di kampus UI itu mengembuskan nafas terakhir untuk kembali kepada Sang Khalik. Kepergiannya pun meninggalkan duka mendalam bagi Indonesia. (Sun/Yus)