Soal RS Sumber Waras, BPK Dinilai Tak Kaji Data Pemprov DKI

Menurut Kepala BPKAD, berdasarkan PP No 40 Tahun 2014, pembebasan lahan di bawah 5 ha tak harus melalui Panitia Pembebasan Tanah.

oleh Ahmad Romadoni diperbarui 11 Agu 2015, 23:09 WIB
Diterbitkan 11 Agu 2015, 23:09 WIB
Ilustrasi Kesehatan Jantung
Ilustrasi Kesehatan Jantung

Liputan6.com, Jakarta - Panitia Khusus (Pansus) Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait hasil laporan keuangan Pemprov DKI 2014 melanjutkan rapat dengan eksekutif. Dalam rapat itu, dijabarkan bagaimana Pemprov DKI Jakarta bisa mendapatkan lahan Rumah Sakit (RS) Sumber Waras untuk membangun rumah sakit jantung dan kanker.

Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Heru Budi Hartono menjelaskan, berdasarkan Peraturan Presiden No 40 Tahun 2014, pembebasan lahan di bawah 5 hektare tidak harus melalui Panitia Pembebasan Tanah (P2T). Negosiasi pembelian bisa dilakukan langsung antara pemilik tanah dengan pemprov melalui SKPD dibantu oleh lurah, camat, dan walikota.

"Kalau lahan itu dimiliki oleh satu orang langsung bisa negosiasi atau lebih singkat lagi bisa langsung melalui notaris. Tapi, biasanya dirapatkan dulu paling tidak bertanya apakah tanah ini sengketa atau bermasalah," ucap Heru di ruang komisi A DPRD DKI Jakarta, Selasa (11/8/2015).

Awalnya, pihak RS Sumber Waras memang tidak mau menjual kepada Pemprov DKI Jakarta. Tapi, lanjut Heru, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tidak akan mengubah peruntukan lahan itu dari rumah sakit ke komersial.

Sampai akhirnya, pihak RS Sumber Waras meminta bertemu dengan Ahok guna menawarkan lahan itu. Akhirnya, Ahok menyetujui membeli satu lahan di RS Sumber Waras untuk dijadikan rumah sakit jantung dan kanker.

"1 Zona Sumber Waras itu ada 2 sertifikat. 1 bermasalah, 1 kita beli. 2 sertifikat itu bagian dari 1 zona yang ada di Jalan Kiai Tapa," imbuh Heru.

Evaluasi BPK

Hal inilah yang masuk dalam evaluasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BPK menilai seharunya nilai jual lahan yang dibeli Pemprov DKI Jakarta berada di zona Jalan Tomang, bukan Jalan Kiai Tapa. Padahal, jelas RS Sumber Waras masuk zona Kiai Tapa.

"Yang namanya zona walaupun dibelah 5 atau 6 kalau menjadi satu zona ya zona (NJOP) Rp 20 juta itu. Walaupun sudah dibeli atau dikasih jalan bukan ke Kiai Tapa atau Tomang tetap saja itu bukan berarti Tomang, tetap menjadi zona yang sudah ditetapkan (Kiai Tapa)," tutur Heru.

Sejak 2012, Pemprov DKI Jakarta memang diberi kewenangan untuk mengubah zona suatu wilayah. Tapi itu tidak dilakukan sama sekali.

"Dari tahun 1994 zona itu tidak pernah diubah, memang zona Kiai Tapa. Begitu dibeli pemda, dibelah, bukan berarti itu jadi ke Tomang ya enggak dong," imbuh dia.

Beda Persepsi

Hal itu juga sudah disampaikan kepada auditor BPK. Seluruh data baik permasalahan zona maupun NJOP yang ditetapkan di zona itu sudah diserahkan. Hanya saja, BPK tampaknya tidak mengindahkan data yang disampaikan Pemprov DKI Jakarta.

"BPK ngecek langsung ke lapangan katanya. Katanya, sebaiknya harganya ikut Tomang, tapi kan kita menurut data-data itu zona Kiai Tapa. Harusnya data yang kita kasih dikaji," ujar Heru.

Perbedaan persepsi ini akhirnya berujung pada evaluasi yang tercantum dalam LHK DKI Jakarta tahun anggaran 2014. Heru menegaskan, pihaknya sangat terbuka untuk diaudit akuntan publik independen dengan ranking 5 besar dunia.

"Pemda DKI Jakarta terbuka saja kalau mau diaudit pakai akuntan publik. Tapi harus 5 besar internasional atau DJKN (Direktorat Jenderal Keuangan Negara) silakan saja," pungkas Heru.

Sejauh ini DPRD DKI telah membentuk Pansus LHP yang membahas 6 hasil temuan BPK yang menyebutkan adanya indikasi kerugian negara, atas hasil laporan keuangan Pemprov DKI 2014. Termasuk, soal pembelian lahan oleh Pemprov DKI di RS Sumber Waras.

Dalam kasus RS Sumber Waras, BPK menemukan pengadaan tidak melalui proses yang memadai dan menyebabkan dugaan kerugian negara hingga Rp 191 miliar. (Ans/Ado)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya