Luthfi Demokrat: Revisi UU Upaya Pembubaran KPK

Indikasi pembubaran KPK bisa dilihat dari adanya pasal-pasal yang ada dalam revisi UU KPK, salah satunya tentang batasan usia.

oleh Liputan6 diperbarui 08 Okt 2015, 06:56 WIB
Diterbitkan 08 Okt 2015, 06:56 WIB
20150822-Gedung-KPK
Gedung KPK (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi diputuskan masuk Prolegnas 2015. Fraksi PDIP lah yang menjadi 'motor' usulan revisi UU KPK tersebut.

Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Nasional Demokrat, Luthfi A Mutty mengatakan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jelas mengandung upaya pembubaran, bukan sekadar pelemahan terhadap lembaga antirasuah itu.

"Indikasi pembubaran KPK bisa dilihat dari adanya pasal-pasal yang ada dalam revisi UU KPK, yakni pasal 5, pasal 13, pasal 14, pasal 23, pasal 42 dan pasal 52," kata Luthfi dalam rilis yang diterima Antaranews, Jakarta, Kamis (8/10/2015).

Pasal 5 dalam revisi UU KPK menyebutkan adanya pembatasan usia KPK cuma 12 tahun. Pada pasal 13, tertulis KPK hanya boleh menyidik kasus korupsi di atas Rp 50 miliar. Jika kurang dari Rp 50 miliar, wajib diserahkan ke Polri/Kejagung dalam 14 hari.

"Bergembiralah para koruptor yang nilai korupsinya di bawah Rp 50 miliar karena bebas dari KPK," ujar Luthfi.

Pasal 14, lanjut dia, penyadapan yang dilakukan oleh KPK harus atas izin ketua pengadilan negeri dengan bukti awal yang cukup.  "Ini jelas akan menghilangkan taring KPK," jelas Luthfi.

Sementara, pasal 23 terkait pembentukan Dewan Eksekutif dan pasal 39 tentang pembentukan Dewan Kehormatan yang terdiri unsur pemerintah, penegak hukum, masyarakat masing-masing 3 orang.

"Ini jelas sangat ngawur karena yang menjadi fokus KPK selama ini adalah korupsi oleh penegak hukum dan penyelenggara negara," sebut Luthfi.

Pada pasal 42 yang memungkinkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) serta pasal 52 yang mengharuskan KPK menyampaikan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Polri dan Kejaksaan Agung 14 hari setelah mulai penyidikan.

"Ini menunjukkan bahwa KPK bukan lagi lembaga negara yang otonom dengan kewenangan yang khusus. Lebih parah lagi karena KPK menjadi lembaga yang disupervisi oleh Polri dan Kejagung," kata Luthfi.

Alasan-alasan inilah yang membuatnya berkesimpulan, revisi UU KPK sangat bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi. Yang paling menyedihkan adalah revisi UU KPK adalah usul inisiatif DPR RI.

"Di tengah-tengah penilaian dan tingkat kepercayaan masyarakat yang sangat rendah kepada DPR RI, seharusnya DPR RI tidak melakukan langkah-langkah aneh dan konyol dengan mengusul RUU yang bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat,” demikian Luthfi.

KPK, kata dia, lahir sebagai lembaga extraordinary untuk penanganan korupsi yang juga dinilai sebagai kejahatan luar biasa sehingga tidak cukup ditangani oleh lembaga penegak hukum yang sudah ada. (Bob/Ans)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya