Liputan6.com, Jakarta - Badai masih akan menggoyang lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bagaimana tidak? Setelah pimpinannya dijerat hingga menjadi tersangka, kini kewenangan dan keberadaan KPK terancam dilumpuhkan hingga bahkan sirna dari Bumi Pertiwi.
Rencana itu termaktub dalam draf revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kini dibahas Badan Legislasi (Baleg) DPR. Sejauh ini, ada 6 fraksi yang setuju mengusulkan revisi undang-undang tersebut.
Mereka adalah Fraksi PDIP, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Fraksi Hanura, Fraksi Nasdem, Fraksi Golkar, dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan. Di antara fraksi itu, PDIP menjadi lokomotif penggerak usulan revisi tersebut.
"Baleg (Badan Legislasi) tidak bisa menolak karena ada usulan. Karena aturannya ada pengusul, maka harus kami bahas. Ini usulan PDIP dan beberapa lintas fraksi," kata Wakil Ketua Baleg Firman Soebagyo di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa 6 Oktober 2015 malam.
Di antara pasal yang masuk dalam usulan revisi, ada sejumlah hal penting yang dinilai sebagai upaya pelemahan KPK. Yaitu soal umur KPK, wewenang penuntutan KPK, pelimpahan kasus korupsi, wewenang penyadapan, dan pembentukan dewan eksekutif.
Pasal 5 RUU KPK menyatakan 'Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini diundangkan'. Pembatasan itu dimaksudkan untuk memperjelas fase transisi pemberantasan korupsi di Indonesia.
Proses ini dianggap memberi waktu yang cukup agar institusi hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan membenahi diri dalam untuk pemberantasan korupsi.
"Fase 12 tahun ke depan adalah bagian fase transisi untuk penataan, baik itu secara lembaga, institusi pengak hukum, maupun memperkuat sistem penegakan hukum itu melalui revisi beberapa undang-undang itu tadi," ujar pendukung revisi, Anggota Komisi III Masinton Pasaribu di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (7/10/2015).
Selain itu, terkait wewenang penuntutan KPK disebutkan bahwa penuntut adalah jaksa yang berada dibawah lembaga Kejaksaan Agung RI yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Karena itu, lembaga antirasuah ini diminta lebih fokus pada upaya pencegahan tindak pidana korupsi. Padahal KPK sendiri singkatan dari Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pencegahan tindak pidana korupsi," bunyi pasal 4 dalam draf RUU tersebut.
Yang tak kalah hebohnya, terkait izin penyadapan yang dilakukan KPK. Disebutkan dalam Pasal 14 (a), KPK harus terlebih dahulu meminta izin ketua Pengadilan Negeri untuk melakukan penyadapan.
Selama ini, dalam mengungkap kasus-kasus korupsi kelas kakap, KPK melakukan penyadapan tanpa harus meminta izin kepada siapa pun. Jika itu berlaku, aturan tersebut secara otomatis akan menggerus KPK.
"Kewenangan penyadapan itu harus dimiliki KPK. Tapi jelas pasal ini akan membuat lembaga antirasuah itu menjadi 'lesu darah'," papar Benny di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (7/10/2015).
Ramai Menolak
Ramai Menolak
Usulan revisi UU KPK itu menuai penolakan dari sejumlah pihak. Pelaksanan Tugas (Plt) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiequrrachman Ruki menegaskan ada 6 alasan lembaganya tak setuju dengan revisi itu.
Di antaranya, keberadaan KPK tak terbatas waktu. Karena ini didukung oleh Pasal 2 angka 2 TAP MPR, menyatakan MPR mengamanatkan pembentukan KPK.
"Dalam TAP tersebut tidak disebutkan pembatasan waktu," ujar Ruki di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (7/10/2015).
Terkait penuntutan KPK, Ruki menilai proses ini tidak dapat dipisahkan dalam penanganan perkara yang terintegrasi. KPK, pun memiliki akuntabilitas dalam melakukan penyadapan, berdasarkan putusan MK. Bahwa kewenangan penyadapan KPK tidak melanggar konstitusi, sehingga perlu dipertahankan.
"Faktanya selama ini sangat mendukung penanganan perkara di KPK," imbuh Ruki.
Presiden Joko Widodo, kata Ruki, menyatakan tidak ada keinginan untuk melemahkan KPK. Maka dari itu, usulan revisi KPK dengan 5 poin itu ditolak oleh Jokowi.
"Kami akan bekerja dengan undang-undang yang ada," ujar Taufiequrrachman. (2335105)
Sikap penolakan Jokowi itu kembali disampaikan oleh Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki Teten. Sang kepala negara dinilainya masih konsisten dengan pemberantasan korupsi. Apalagi pemerintah sedang gencar menggenjot pembangunan infrastruktur.
Teten menyatakan Jokowi sangat menginginkan KPK menjadi kuat, yang bisa mengawasi pembangunan lantaran masih ada peluang-peluang terjadinya korupsi. Tak hanya itu, Jokowi pun ingin kejaksaan dan kepolisian juga diperkuat.
"Jadi komitmen presiden dalam pemberantasan korupsi tidak usah diragukan," kata Teten.
Advertisement
Lemahkan KPK
Lumpuhkan KPK
Pelaksana tugas (Plt) Pimpinan KPK Johan Budi menilai, tujuan anggota DPR merevisi undang-undang tentang KPK untuk melemahkan pemberantasan korupsi. Upaya pelemahan yang dimaksud adalah mengenai wacana pembatasan masa kerja KPK selama 12 tahun.
"Jelas ini bertentangan dengan TAP MPR tahun 2001. Jelas disebut KPK tidak diberi ruang atau batasan waktu untuk bekerja karena korupsi sangat banyak dan kita sepakat itu," ujar Johan Budi di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (7/10/2015).
Johan menilai, upaya melemahkan KPK bukan berasal dari DPR sebagai institusi melainkan hanya sikap oknum yang belum tentu didukung oleh partainya. Karena tidak semua anggota DPR setuju bahkan beberapa fraksi menyatakan penolakan terhadap UU KPK.
"Saya tidak percaya ini insititusi DPR tapi memang ada sebagian anggota DPR entah alasan apa saya tidak tahu untuk mereduksi kewenangan KPK. Sekali lagi kalau dilihat dari draf yang kalau itu benar, saya yakin tujuannya untuk melemahkan KPK," pungkas Johan.
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai RUU menjadi bukti kuat dari DPR yang bersemangat memberangus keberadaan KPK. "Makin membuktikan DPR untuk melemahkan KPK," kata dia di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (7/10/2015).
Refly menyoroti pasal tentang eksistensi KPK hanya 12 tahun ke depan saja. Padahal tak ada jaminan, bahwa lembaga penegak hukum lain selain KPK tidak akan menuai persoalan.
"Siapa yang bisa menjamin, tidak ada persoalan dari penegak hukum setelah 12 tahun itu. Karena persoalan di penegak hukum yang lainnya ini sudah (terjadi) puluhan tahun ke belakang," ucap Refly.
Sebelum KPK hadir, lembaga kepolisian dan kejaksaan terlebih dahulu ada. Namun kedua lembaga itu dinilai masih lemah dalam memberangus kejahatan kerah putih.
Karenanya, kelahiran KPK pada era pemerintahan Megawati Soekarnoputri ini menjadi jawaban dari doa rakyat yang jengah melihat akutnya korupsi di Bumi Pertiwi.
Kini setelah 13 tahun berdiri, KPK terus diincar untuk 'disingkirkan'. Para perampok uang rakyat tak tenang jika lembaga antirasuah itu kian perkasa dan menyikat langkahnya.
KPK masih dibutuhkan rakyat Indonesia. Revisi undang-undang itu diharapkan tak akan mengubah eksistensi dan kewenangan KPK. Karena draf tersebut masih bersifat usulan.
"Itu baru draf bukan sikap final. Itu usulan awal, kemudian usulan itu dibahas dalam pansus. Statusnya usulan inisiatif dewan untuk dibahas pemerintah," tandas Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman. (Ali/Ans)