Pegiat Antikorupsi Desak DPR Jelaskan Urgensi Revisi UU KPK

ACC melihat kesan yang jelas bahwa DPR sedang membajak KPK. DPR wajib menjelaskan pada publik urgensi dari revisi UU KPK itu.

oleh Eka Hakim diperbarui 08 Okt 2015, 04:24 WIB
Diterbitkan 08 Okt 2015, 04:24 WIB
20150821- KPK Tetapkan Ketua DPRD Kabupaten Musi Banyuasin sebagai Tersangka-Jakarta-Johan Budi
Ketua Plt Pimpinan KPK, Johan Budi saat konfrensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (21/8/2015). KPK menetapkann ketua dan tiga wakil ketua DPRD Kabupaten Musi Banyuasin sebagai tersangka kasus suap pembahasan Rancangan APBD. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Makassar - Desakan penghentian revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh DPR makin meluas. Para penggiat antikorupsi di Sulawesi Selatan (Sulsel) meminta para legislator pendukung revisi untuk menjelaskan pada publik terkait urgensi revisi tersebut.

"DPR harus menjelaskan alasan apa sehingga mau merevisi UU KPK. Kami melihat kesan yang jelas bahwa DPR sedang membajak KPK," ujar Wakil Direktur Anti Corruption Committe (ACC) Kadir Wokanubun, Rabu (7/10/2015).

Menurut Kadir, ada beberapa pasal yang sangat penting dikritisi dan ditolak dalam draf rencana revisi UU KPK yang diusulkan oleh 6 fraksi di DPR, yakni PDIP, Golkar, PKB, PPP, Nasdem, dan Hanura.

Di antaranya Pasal 5 juncto pasal 73 yang mengatur tentang masa waktu KPK yakni hanya diberi masa waktu 12 tahun saja. Lalu Pasal 13 tentang perkara di bawah 50 miliar diserahkan penanganannya ke polisi dan jaksa‎.

Kemudian, lanjut Kadir, pasal 14 tentang aktivitas melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup dengan izin dari Ketua Pengadilan Negeri.

Selanjutnya Pasal 22, 23, 24 tentang dewan eksekutif dan Pasal 39 tentang dewan kehormatan serta Pasal 42 tentang KPK berwenang mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan).

Tak hanya itu, Kadir juga menyoal Pasal 45 dan pasal 53 yang di mana disebutkan penyelidik dan penuntut harus dari kepolisian dan kejaksaan.

Serta Pasal 52 ayat (2) yang berbunyi, dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan kepolisian atau kejaksaan belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh KPK, maka KPK wajib memberitahukan kepada kepolisian atau kejaksaan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan.

"Seluruh pasal di atas yang kami sebut tentunya akan menjadi ancaman nyata pemberantasan korupsi di Tanah Air. Ini DPR punya agenda apa sehingga seperti ingin melemahkan KPK dari wilayah UU,‎" tegas Kadir.

Sebelumnya, Pelaksana tugas (Plt) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indriyanto Seno Adji menyayangkan munculnya Pasal 73 dalam revisi UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Pasal tersebut mengatur tentang masa kerja KPK yang hanya dibatasi hingga 12 tahun sejak revisi disepakati menjadi undang-undang dan diundangkan. Jika aturan tersebut akhirnya diputuskan, Indriyanto berpendapat lebih baik KPK dibubarkan saja. Karena hal itu lebih baik dibandingkan ada lembaganya tapi tidak ada kewenangannya.

"Kalau pasal ini tetap ada, lebih baik KPK dibubarkan saja," ujar Indriyanto Seno Adji di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu 7 Oktober 2015.

Sementara itu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai fraksi yang menjadi leader revisi UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), membantah bakal melemahkan lembaga antirasuah itu.

"Saya jelas keberatan kalau revisi dipandang sebagai pelemahan KPK. Justru sebaliknya, kami cinta KPK dan kami lakukan penguatan terhadap KPK," ujar anggota DPR dari Fraksi PDIP Arteria Dahlan kepada Liputan6.com, Rabu 7 Oktober 2015.

Menurut dia, sejak awal fraksinya di DPR tidak memiliki niat atau maksud sedikit pun untuk melemahkan KPK. karena diakuinya KPK adalah anak kandung reformasi yang kelahirannya langsung dibidani Megawati Soekarnoputri saat menjabat presiden. (Dms)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya