Walhi: Bencana Asap Terjadi Akibat Meningkatnya Izin HTI

Pada 2009-2011, angka penerbitan izin pada HTI (Hutan Tanaman Industri) meningkat mencapai 300 persen.

oleh Gerardus Septian Kalis diperbarui 10 Okt 2015, 18:13 WIB
Diterbitkan 10 Okt 2015, 18:13 WIB
20150904-Kebakaran-Hutan-Riau
Sebuah helikopter melakukan pemadaman api di kawasan hutan di Ogan Ilir, Sumatera Selatan (1/8/2015). (AFP PHOTO/ABDUL Qodir)

Liputan6.com, Jakarta - Manager Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Zenzi Suhadi mengatakan, bencana kabut asap seharusnya tidak terjadi apabila pemerintah serius menangani gugatan hukum terhadap pelaku pembakaran, dan pencabutan izin terhadap perusahaan yang terlibat.

"Ini bukti kurang perhatiannya pemerintah terhadap lingkungan terutama hutan. Mereka lebih melihat dari sisi ekonominya saja, bukan dampaknya," ujar Zenzi di Jakarta, Sabtu (10/10/2015).

Zenzi mengungkapkan, sejak beberapa tahun terkahir terdapat kejanggalan dalam pemberian izin hutan tanaman industri untuk sejumlah korporasi tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkannya.

"Dulukan hutan tanaman industri izinnya hanya boleh dikeluarkan dalam kawasan hutan produksi yang kritis, logikanya pengusaha boleh menanam kayu setelah mereka memanen hasil produksi mereka," tandas dia.

Tetapi, lanjut Zenzi, di tahun 2007 dan 2008 pemerintah malah menerbitkan Peraturan Nomor 6 Tahun 2007 dan Nomor 3 Tahun 2008 di mana konsensi boleh dilakukan di hutan alang. Akibatnya, pada 2009-2011 angka penerbitan izin pada HTI (Hutan Tanaman Industri) meningkat mencapai 300 persen.

"Ini artinya meskipun pemerintah melakukan pemadaman api, pemerintah juga tetap menjadi pihak yang memfasilitasi kerusakan itu terus membesar. Karena itu, kita menginginkan aturan ini segera diubah," ucap dia.

Zenzi juga mengungkapkan, perubahan peraturan pemerintah adalah upaya bagi kepala daerah, elit dan korporasi untuk melanggengkan perusakan hutan.

"Mereka terkesan seperti selalu mengakali bagaimana agar mereka halal melakukan perusakan hutan dan gambut," ujar Zenzi.

Oleh karena itu, dia meminta Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk segera merevisi 17 SK Perubahan dan Penunjukan Kawasan Hutan.

"Hal inilah yang menjadi faktor yang membuat perusahaan lepas dari konsekuensi hukum," imbuh dia.

Ditegaskan Zenzi, kebakaran hutan bisa dicegah bila pemilik perkebunan menggunakan kajian akademis AMDAL yang benar. Tetapi faktanya, kajian akademis banyak dilakukan pemilik perkebunan dengan tidak benar sehingga muncul perizinan ilegal.

"Sesuai mandat Undang Undang Nomor 32, pejabat penerbit izin berkewajiban mengendalikan dan mengontrol aktivitas pemegang izin, begitu dia tidak menjalankan kewajibannya dia dapat digugat secara pidana maupun perdata," tutur dia.

Namun faktanya, tanggung jawab ini tidak dilakukan oleh kepala daerah maupun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Seperti ada proses pembiaran penerbit izin kepada kerusakan saat ini.

"Sekarang semua merasakan dampaknya. Pembiaran ini telah membuat kerugian besar terutama kehilangan lahan mereka dan kehilangan lingkungan sehat," pungkas Zenzi. (Dms/Sun)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya