Sekjen PDIP Beber Alasan Perlunya Revisi UU KPK

Bagi PDIP, pemberantasan korupsi memiliki sifat permanen.‎

oleh Taufiqurrohman diperbarui 11 Okt 2015, 19:47 WIB
Diterbitkan 11 Okt 2015, 19:47 WIB
Konferensi Pers PDIP Jelang HUT ke-42
Hasto Kristiyanto (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menegaskan sikap partainya konsisten terhadap perjuangan pemberantasan korupsi. Bagi PDIP, pemberantasan korupsi memiliki sifat permanen.‎

Karena itu, kata Hasto, wacana revisi UU KPK harus dilihat sebagai upaya melakukan perbaikan dan sinergi bagaimana negara bisa efektif memerangi, memberantas, dan mencegah korupsi. Bukan disikapi dengan sikap pro dan kontra yang justru kontraproduktif pada substansi bagaimana efektifitas pemberantasan korupsi.

"Tidak ada pemberantasan korupsi itu diwakili, atau bersifat ad hoc. Ini tugas permanen negara yang dilakukan seluruh penegak hukum dan juga melibatkan secara aktif seluruh pejabat negara. Harus ada kesadaran bahwa korupsi adalah kejahatan kemanusiaan," kata Hasto di Kantor DPP PDI Perjuangan, Jakarta, Minggu (11/10/2015).

Dengan tugas permanen negara dalam memberantas korupsi, maka KPK juga tidak bisa berdiri sendiri sebagai pendekar hukum. Harus ada sinergi seluruh institusi penegak hukum.

"Presiden juga menunjukkan sikap yang kuat untuk memberantas korupsi. Bagi kami sikapnya sejalan dengan apa yang disampaikan Pak JK (Wakil Presiden Jusuf Kalla). Kami sejalan juga apa yang disampaikan Pak Ruki (Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki)," kata Hasto.

Dia menambahkan, meski Wapres JK menilai perlu evaluasi terhadap lembaga KPK, namun penguatan bukan pada kelembagaan. "Tetapi penguatan seluruh lembaga agar negara ini betul-betul memerangi korupsi," ujar Hasto.

Tanpa adanya evaluasi, kata Hasto, bisa dibayangkan indeks korupsi di Indonesia akan meningkat dalam waktu 25 tahun ke depan.

Alasan Revisi

Alasan Revisi

Hasto membeberkan alasan revisi UU KPK. Pertama, pentingnya keberadaan dewan pengawas KPK. Dia menyitir Plt Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki dan Wapres JK yang juga sepakat keberadaan Dewan KPK. Bahkan, Presiden Jokowi juga disebutnya sepakat dengan hal ini.

"Bagaimana pun juga suatu institusi yang sangat powerfull yang memiliki tugas yang sangat penting, apalagi juga menjadi bagian peradaban kita dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih, kalau tidak ada pengawasan ada kemungkinan penyalahgunaan," kata Hasto.

"Di masa lalu kita tidak menutup mata ada orang per orang (di KPK) yang kemudian menyalahgunakan kewenangan ini. Karena tidak bisa menahan diri dengan kepentingan politik di luar," tambah Hasto.

Kedua, kata dia, adalah ketentuan terhadap SP3 di KPK. Dia kemudian menyinggung bahwa komisioner KPK nonaktif Bambang Widjojanto juga ketika menghadapi persoalan hukum memerlukan adanya mekanisme ini.

"Bahkan saya mendengar bahwa ada salah satu tersangka KPK yang sudah tidak layak di tersangka, sudah stroke tetap dimintai keterangan karena tidak bisa dihentikan karena tidak ada mekanisme untuk itu (SP3). Padahal hukum harus berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu, mekanisme SP3 itu juga diperlukan," terang dia.

Ketiga, kata Hasto, adalah ketentuan tentang penyadapan. Menurut Hasto, bagaimana pun juga di era liberal ini pengaturan soal penyadapan diperlukan.

"Karena terbukti ada pihak-pihak (di KPK) yang tergoda bermain politik dan kemudian tidak bisa melepas kepentingan politik di luarnya. Sehingga sadap menyadap, itu memang di negara maju demokrasi harus ada ketentuan pengawasan. Jangan sampai tidak suka dengan pejabat tertentu langsung dilakukan penyadapan. Saya mendengar dari teman-teman audit, fungsi penyadapan ini juga pernah disalahgunakan," jelas Hasto.

"Jadi, kami tidak pernah mengusulkan untuk meghilangkan hak penyadapan yang dimiliki KPK. Ini tetap melekat, hanya pengawasannya," tambah Hasto.

Keempat, lanjut Hasto, adalah soal fungsi pencegahan. Dia mengatakan, sudah dari 1998 negara ini perang terhadap korupsi. Tetapi kenyataannya harta-harta yang dikorupsi tidak bisa dikembalikan.

"Mereka yang dilarikan ke luar negeri yang konon jumlahnya melebihi Rp 3.000 triliun, sehingga sempat ada upaya untuk mengeluarkan RUU Tax Amnesti di situ. Meski tax amnesti bukan untuk mengampuni koruptor," ungkap Hasto.

Kemudian yang kelima, kata dia, adalah terkait ketentuan adanya evaluasi. Soal ketentuan di draf Revisi UU yang menyebutkan KPK diberikan waktu 12 tahun, pihaknya tidak mengetahui dan juga tidak sepakat. Tetapi, PDIP sepakat perlu dilakukan evaluasi secara periodik seperti disampaikan Wapres JK.

"Kami sepakat yang disampaikan Pak JK, 10 tahun lah kita evaluasi terlebih dahulu atas penerapannya. Pendapat Pak JK bagus. Kita evaluasi sekiranya 10 tahun ke depan bangsa Indonesia belum jera korupsi, kita lakukan tindakan jauh dari awal," ucap dia.

Bahkan, lanjut Hasto, kalau perlu dipertimbangkan secara seksama penetapan hukuman mati bagi pejabat yang terbukti korupsi dan salahgunakan kewenangan. (Ali)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya