Liputan6.com, Jakarta - Terdakwa Hasto Kristiyanto menyatakan, proses penyusunan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak adil dan melanggar prinsip keadilan. Hasto menyebut, lembaga antirasuah memaksakan proses P21 tanpa melakukan pemeriksaan saksi meringankan.
"Proses P21 yang dilakukan KPK sangat dipaksakan dan melanggar hak saya sebagai terdakwa untuk didengarkan saksi-saksi yang meringankan. Ini adalah pelanggaran serius terhadap prinsip keadilan dan due process of law," tutur Hasto saat membacakan eksepsi terkait kasus Harun Masiku di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (21/3/2025).
Advertisement
Baca Juga
Hasto mengatakan, proses P21 juga dilakukan saat dirinya menderita radang tenggorokan dan kram perut atau pada 2 Maret 2025. Kemudian tanggal 6 Maret 2025, dia pun membuat surat pernyataan tidak bisa memenuhi panggilan pemeriksaan lantaran sakit, yang tetap dipaksakan KPK.
Advertisement
“Surat permohonan untuk memeriksa saksi-saksi meringankan telah disampaikan oleh penasihat hukum saya ke pimpinan KPK pada 4 Maret 2024. Namun, penyidik KPK, Rossa Purbo Bekti, menjawab bahwa mereka belum menerima disposisi dari pimpinan KPK," jelas dia.
Sekjen PDIP itu menegaskan, hak terdakwa untuk didengar saksi yang meringankan merupakan prinsip dasar dalam proses peradilan, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dia turut mengutip Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menyatakan bahwa saksi meringankan wajib dihadirkan dalam proses pemeriksaan.
"Proses P21 yang dipaksakan ini menyebabkan surat dakwaan banyak mengandung hal-hal yang merugikan saya. Fakta-fakta hukum versi KPK berbeda dengan fakta-fakta persidangan sebelumnya yang sudah inkracht," ucap Hasto Kristiyanto menandaskan.
Singgung Kriminalisasi Usai PDIP Pecat Jokowi
Dalam pembacaan eksepsi, Hasto Kristiyanto sempat menyinggung soal peran Presiden ke-7 RI Joko Widodo atau Jokowi. Di depan majelis hakim, Hasto menyatakan adanya kriminalisasi, khususnya jika PDIP memecat Jokowi dari partai.
"Dari berbagai informasi yang saya terima, bahwa sejak Agustus 2023, saya telah menerima berbagai intimidasi dan semakin kuat pada masa-masa setelah Pemilu Kepala Daerah Tahun 2025. Puncak intimidasi kepada saya terjadi pada hari-hari menjelang proses pemecatan kader-kader partai yang masih memiliki pengaruh kuat di kekuasaan," tutur Hasto di Pegadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (21/3/2025).
Hasto menyebut, dirinya sebagai Sekjen PDIP hanya menjalankan sikap politik partai. Namun begitu, kasus Harun Masiku malah selalu menjadi instrumen penekan kepadanya.
"Hal ini nampak dari monitoring media seperti terlihat di gambar di bawah ini, di mana kasus Harun Masiku selalu cenderung naik seiring dengan dinamika politik dan sikap kritis PDI Perjuangan," jelas dia.
Advertisement
Diungkap Connie
Menurutnya, dalam wawancara bersama pengamat pertahanan Connie Rahakundini yang dipandu Akbar Faizal, disampaikan bahwa ada aparat TNI-Polri yang bersikap lurus mengabarkan adanya rencana mentersangkakan Hasto jika masih tetap bersikap kritis, termasuk dalam Pilkada di beberapa wilayah yang dinilai sudah dikondisikan.
"Pasca wawancara tersebut, tekanan terhadap saya semakin meningkat, terlebih pada periode 4-15 Desember 2024 menjelang pemecatan Bapak Jokowi oleh DPP PDI Perjuangan setelah mendapat laporan dari Badan Kehormatan Partai. Pada periode itu, ada utusan yang mengaku dari pejabat negara, yang meminta agar saya mundur, tidak boleh melakukan pemecatan, atau saya akan ditersangkakan dan ditangkap," ungkapnya.
Hingga akhirnya, pada 24 Desember 2024 atau satu minggu setelah pemecatan para kader partai tersebut, Hasto ditetapkan sebagai tersangka.
"Tekanan yang sama juga pernah terjadi pada partai politik lain yang berujung pada penggantian pimpinan partai dengan menggunakan hukum sebagai instrumen penekan," Hasto menandaskan.
Dakwaan Hasto
Dalam kasus ini, Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, didakwa menyuap Komisioner KPU Wahyu Setiawan dengan uang senilai Rp600 juta. Suap tersebut diduga bertujuan untuk meloloskan Harun Masiku ke dalam Caleg Pergantian Antarwaktu (PAW) DPR 2019-2024.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengungkapkan hal tersebut dalam surat dakwaannya yang dibacakan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jumat (14/3/2025).
Menurut JPU, Hasto bersama-sama dengan Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku telah memberikan uang kepada Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio Fridelina untuk mengupayakan KPU menyetujui permohonan PAW Caleg terpilih Daerah Pemilihan Sumatera Selatan 1 atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
Kasus ini bermula dari meninggalnya Caleg DPR RI PDIP Dapil Sumsel nomor urut 1 Nazaruddin Kiemas pada 26 Maret 2019. Riezky Aprilia, Caleg PDIP dari dapil yang sama, meraih suara terbanyak dengan 44.402 suara sah.
Namun, Hasto, ingin menempatkan Harun Masiku di parlemen, memerintahkan Donny Tri Istiqomah dan Saeful Bahri untuk mengurus permohonan PAW di KPU.
Advertisement
Hasto Bertemu Wahyu
"Terdakwa menyampaikan bahwa Harun Masiku harus dibantu untuk menjadi anggota DPR RI karena sudah menjadi keputusan partai dan memberi perintah kepada Donny Tri Istiqomah dan Saeful Bahri untuk mengurus Harun Masiku di KPU agar ditetapkan mejadi anggota DPR RI dan melaporkan setiap perkembangan, baik mengenai komitmen, penyerahan uang, dan segala hal terkait kepengurusan Harun Masiku kepada terdakwa," kata JPU.
Pada 31 Agustus 2019, Hasto bertemu dengan Wahyu di Kantor KPU untuk membahas usulan pergantian Riezky dengan Harun Masiku. Komunikasi kemudian dilanjutkan oleh Saeful Bahri dengan Agustiani Tio melalui WhatsApp.
Wahyu, melalui Agustiani, meminta biaya operasional sebesar Rp1 miliar. Namun, akhirnya Wahyu menerima Rp800 juta, sedangkan Agustiani Tio menerima Rp50 juta.
Atas perbuatannya, Hasto didakwa melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
