GP Ansor Apresiasi Jokowi Tetapkan Hari Santri Nasional

Menurut Nusron, perjuangan untuk para santri tak berhenti di sini.

oleh Taufiqurrohman diperbarui 14 Okt 2015, 12:11 WIB
Diterbitkan 14 Okt 2015, 12:11 WIB
20150926-Ratusan Santri Bakar Sate Massal di Jakarta
Ratusan santriwati mengikuti perlombaan membakar sate bersama di Pesantren Ash-Shiddiqiyah, Jakarta, Sabtu (26/9/2015). Acara yang diikuti 850 santri itu guna mempererat kebersamaan serta menanamkan jiwa kemandirian. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Gerakan Pemuda (GP) Ansor Nusron Wahid, mengapresiasi keputusan Presiden Jokowi menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.

"Ini bukti keberpihakan Presiden Jokowi terhadap masyarakat santri. Dengan ditetapkannya Hari Santri, berarti eksistensi santri diakui di Indonesia," kata Nusron di Jakarta, Rabu (14/10/2015).

Dia mengatakan, penetapan Hari Santri Nasional ini juga memiliki makna lain. Pada tanggal ini Hari Resolusi Jihad yakni keluarnya fatwa Hadratusyeikh Hasyim Asy'ari, Roisul Akbar Nahdlatul Ulama (NU), yang juga kakek Presiden ke-4 RI Gus Dur.

"Saat itu tanggal 22 Oktober 1945, Mbah Hasyim dan ulama NU fatwa bahwa santri dan umat Islam wajib hukumnya untuk mengusir penjajah dari Bumi Nusantara," ucap dia.

Dalam konteks sekarang, menurut Nusron, makna dari Hari Santri adalah meneruskan jihad melawan kemiskinan dan berbagai persoalan yang sedang dihadapi bangsa. "Sekarang kiai wajib fatwa mengusir kemiskinan, krisis ekonomi, dan korupsi dari Bumi Nusantara," tandas Nusron Wahid.

Namun, ucap Nusron, perjuangan untuk para santri tak berhenti di sini. Dia mengatakan, hak-hak pendidikan santri harus dipenuhi. Seperti bantuan operasional sekolah (BOS) untuk Pesantren Salafiyah dan Kartu Indonesia Pintar untuk para santri.

"Dan yang lebih penting lagi pengakuan persamaan (muadalah) Pondok Pesantren Salafiyah dan sistem pendidikan nasional," ujar Nusron.

Dia menuturkan, sampai sekarang ijazah Pesantren Salafiyah dengan kurikulum kitab kuning dan klasik yang derajat keilmuwannya sangat tinggi tidak diakui. Hal tersebut berbeda dengan kurikulum madrasah modern yang diakui dalam sistem pendidikan nasional.

"Mereka ijazahnya diakui dan dapat BOS dan KIP. Sementara santri salafiyah tidak. Ini tidak adil. Padahal kurikulum madrasah formal dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) itu hanya mengambil ikhtisar dan kulit dari kitab kuning klasik. Lulusan madrasah juga tanggung kedalaman ilmu agamanya," tutur dia.

"Kalau Pesantren Salafiyah yang mengambil sumber referensi utamanya malah tidak diakui. Bahkan kalau mau ambil ijazah disuruh ikut ujian lagi. Ini aneh sistem kita," sambung dia.

Saat kampanye Pemilihan Presiden 2014, Jokowi berjanji untuk menetapkan satu hari sebagai Hari Santri Nasional. Ketika itu, yang diwacanakan sebagai hari santri adalah tanggal 1 Muharam. Namun dalam pelaksanaannya Hari Santri ditetapkan setiap 22 Oktober. (Ndy/Sun)

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya