Liputan6.com, Jakarta - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) meminta Presiden Joko Widodo introspeksi dan melakukan evaluasi terhadap kinerjanya selama 1 tahun ini. Menurut Ketua Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) DPP PKS Almuzzammil Yusuf hal ini perlu dilakukan karena berdasarkan survei independen kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-JK lebih rendah dari pemerintah sebelumnya.
"Ini harus jadi bahan introspeksi Pemerintahan Jokowi-JK," ujar Almuzzammil dalam siaran persnya, Rabu(21/10/2015).
Baca Juga
Berdasarkan survei yang dilakukan SMRC, tingkat kepuasan masyarakat terhadap satu tahun pemerintahan Jokowi-JK hanya 51,7% lebih rendah dibandingkan tingkat kepuasan terhadap satu tahun pemerintahan SBY-JK dan SBY-Boediono yang mencapai 66%-70%.
Advertisement
Almuzzammil mengungkapkan, PKS telah melakukan kajian plus-minus kinerja bidang politik dan hukum satu tahun pemerintahan Jokowi-JK dibandingkan pemerintahan SBY.
Kinerja minus pertama, menurut Muzzammil, intervensi pemerintah dalam konflik internal Partai Golkar dan PPP sangat kentara. "Ini adalah kesalahan mendasar di bidang politik dan hukum pemerintahan Jokowi-JK," kata dia.
Menurut dia, Menteri Hukum dan HAM seharusnya tidak boleh ikut campur dalam konflik internal PPP dan Golkar. Sebab itu ranah Mahkamah Partai, Pengadilan, dan MA.
"Putusan MA terakhir yang memenangkan kubu ARB dan Djan Farid sudah tepat. Kita harus apresiasi keputusan MA. Seharusnya Menkum HAM tidak boleh berpihak melainkan hanya menjalankan prosedur administrasi pengesahan partai politik berdasarkan UU Partai Politik. Pemerintahan SBY lebih moderat dan proporsional dalam menangani konflik internal partai," kata dia.
Kedua, lanjut Almuzzammil, pemerintah Jokowi telah mengintervensi penegakan hukum. Sebagai contoh, pergantian Kabareskrim Komjen Pol Budi Waseso di saat sedang menangani kasus korupsi kondensat, penimbunan daging sapi, Pelindo II, dan Pertamina Foundation.
"Seharusnya pejabat yang memiliki terobosan, kinerja baik, dan taat pada aturan dan tugas dipertahankan. Berikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk membuktikan secara transparan bahwa apa yang dilakukannya benar-benar untuk pemberantasan korupsi. Sehingga dengan itu dapat mengangkat citra Kepolisian sebagai penegak hukum," ujar dia.
Ketiga, kata Muzzammil, pemerintahan Jokowi telah menunjukkan konflik internal kabinet yang kontraproduktif. Seperti perbedaan pernyataan yang mencolok antara Presiden dengan Wakil Presiden, Wakil Presiden dengan Menko Maritim, Menko Maritim dengan Menteri ESDM terkait Freeport, dan Proyek Listrik 35.000 MW seharusnya tidak terjadi.
"Kasus ini menunjukkan lemahnya leadership Presiden Jokowi dalam mengelola internal kabinetnya. Hal ini belum pernah terjadi di seluruh kabinet reformasi sebelumnya," kata dia.
Keempat, tidak harmonisnya hubungan Jokowi dengan partai pendukung utamanya. Menurut Muzamil, terlihat ada tarik menarik kepentingan antara Jokowi dengan partai pendukungnya yang menyebabkan kepentingan publik terabaikan.
"Sebagai contoh kisruh dalam revisi UU KPK, pergantian Kapolri, dan program bela negara seharusnya tidak terjadi jika ada kesamaan sikap Presiden Jokowi dengan partai pendukung utamanya," lanjut Muzzammil.
Di sisi lain, kata Muzzammil, terobosan kebijakan pemerintahan Jokowi-JK yang positif juga perlu diapresiasi. Di antaranya, adalah kebijakan eksekusi mati terhadap bandar narkoba baik berasal dari WNI maupun WNA.
"Tujuannya untuk memberikan efek jera para bandar narkoba. Tidak boleh ada kompromi untuk para bandar. Presiden harus memimpin langsung pemberantasan bandar narkoba," ujarnya.
Selain itu, yang patut diapresiasi adalah penegakan hukum dalam penenggelaman kapal-kapal asing yang melakukan illegal fishing di wilayah perairan Indonesia. "Ini harus kita apresiasi. Kebijakan ini melindungi kekayaan laut kita dan mempertegas kedaulatan hukum Indonesia dalam menerapkan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum yang terjadi di wilayah Indonesia," kata Muzzammil. (Nil/Mut)