Bank Banten, Bank Perjuangan yang Tersandera Kasus Suap

Banten Banten telah mengalami siklus kejayaan dan kejatuhan. Upaya menghidupkannya kembali tidak mudah.

oleh Yandhi Deslatama diperbarui 10 Des 2015, 22:56 WIB
Diterbitkan 10 Des 2015, 22:56 WIB
Bank Banten
Bank Banten

Liputan6.com, Pandeglang - Pada era 1950-an sebuah bangunan bergaya Art Deco berdiri di sebuah sisi Pandeglang, Banten, dengan tulisan gagah terpampang di depannya: Bank Banten.

Bank tersebut menjadi ikon Ibu Kota Daerah Swatantra Tingkat II Kabupaten Pandeglang, sekaligus menjadi salah satu penggerak roda perekonomian di wilayah Karesidenan Banten.

Pendirian bank ini tak lepas dari kiprah para veteran pejuang kemerdekaan Indonesia. Awalnya dari terbitnya Keputusan Menteri Pertahanan RI nomor 193 tahun 1950 tertanggal 9 Mei 1950. 

"Tentang prosedur pengembalian tenaga-tenaga darurat Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke masyarakat, semasa clach (agresi militer Belanda) kedua," kata peneliti sejarah dari Banten Heritage, Dadan Soedjana, di Banten, Kamis (10/12/2015).

Keputusan itu berisi; (1) bagi yang ingin masuk TNI, diberikan kesempatan melalui keuring (tes/ujian), (2) bagi yang tidak ingin masuk TNI, dan/atau yang tidak lulus keuring, akan dikembalikan ke masyarakat disertai perlakukan/pemberian berupa Surat Keputusan demobilisasi, surat tanda penghargaan, demobilisasi paket pakaian, dan demobilisasi bonus untuk satu kali pemberian (eenmalig).

"Mayor Raden Sjachra Sastrakusumah, petinggi militer yang pernah menjadi komandan Sektor XV Pandeglang menggagas mendirikan sebuah instelling koperasi dan perbankan milik para veteran," kata Dadan.

Dari upaya tersebut, terkumpul sekitar 5 ribu pejuang kemerdekaan. Namun di periode pertama hanya 3.733 pejuang yang mendapatkan tunjangan Rp 187,30 per orangnya.

Dengan dana itu para veteran sepakat menggunakan dananya sebagai modal usaha. Perinciannya Rp 100 dari dana yang ada selanjutnya dijadikan modal saham untuk pendirian Bank Banten, lalu Rp 50 disalurkan kepada Koperasi Desa dan Rp 20 disampaikan ke Pusat Koperasi bernama Laksana di Pandeglang.

Selanjutnya dana Rp 1 disumbangkan ke Yayasan Beasiswa Pandeglang, biaya administrasi sebesar Rp 2,30 sedangkan sisanya sebesar Rp 14 merupakan bagian pegangan milik para demobilisant.

Hingga akhirnya pada 27 September 1954, Raden Sjachra Sastrakusumah, bersama 8 rekan sejawatnya mendirikan lembaga perbankan berbasis koperasi bernama Maskapai Andil Indonesia (MAI) Bank Banten, yang berpusat di Daerah Swatantra Tingkat II Pandeglang.

Perkembangan MAI Bank Banten, mencapai puncaknya pada 1957. Puncaknya ketika berhasil mendirikan gedung megah di jantung Kabupaten Pandeglang yang peresmiannya digelar meriah pada Senin, 09 September 1957. Bahkan akhirnya mampu membuka cabang di Jakarta dan Bandung.

"Pembukaan selubung prasasti dilakukan Bapak Koperasi Indonesia, Dr. Muhammad Hatta, didampingi Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Mayor AH Nasution, Gubernur Bank Indonesia Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Ini menandai semangat juang para veteran dalam mengembangkan kekuatan ekonomi di Indonesia," jelas Dadan.

Namun sayang, selang 10 tahun, bank kebangaan masyarakat Banten di zamannya itu mengalami kebangkrutan. Hingga akhirnya pada 1997, Pemerintah Kabupaten Pandeglang membongkar bangunan bank yang sudah rusak karena termakan zaman.

Kini, sisa kebanggaan masyarakat Banten hanya menyisakan sebuah nama 'Jalan Bank Banten' yang berada dekat alun-alun Pandeglang. Bekas bangunan bersejarah tersebut telah berganti menjadi gedung Lembaga Veteran Republik Indonesia (LVRI).

"Kalau dulu para veteran berhasil menggabungkan kekuatan, kenapa kita sekarang tak bisa?"

Tersandung Kasus Suap

Pemprov Banten berusaha mengembalikan kembali kejayaan Bank Banten melalui sebuah Peraturan Daerah (Perda) dan terbungkus dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2012-2017.

Namun dalam upaya membangkitkan kembali bank daerah tersebut, para petingginya tersandera kasus suap. Sebut saja Wakil Ketua DPRD Banten SM.Hartono, Ketua Harian Badan Anggaran (Banggar) DPRD BantenTri Satrya Santosa, dan Dirut PT BGD-Ricky Tampinongkol. Mereka terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi awal Desember 2015.

Pasca-terjadinya operasi tangkap tangan KPK terkait suap izin perda pendirian Bank Banten itu, Ketua DPRD Banten Asep Rahmatullah mengatakan bahwa para tokoh masyarakat di tanah jawara sudah mengingatkan Gubernur Banten Rano Karno agar jangan dulu mendirikan sebuah bank daerah.

"Para tokoh menyarankan Banten tidak perlu bank. Banten boleh memiliki bank, dalam artian harus matang dalam pengakuisisian. Ini butuh kajian mendalam lagi," kata dia, Kamis (10/12/2015).

Dia mengatakan pendirian sebuah bank membutuhkan biaya besar dan membutuhkan sumber daya manusia yang mumpuni dalam pengelolaannya. Agar bank daerah tersebut tidak menggerogoti APBD Banten.

 



Bahkan dia pun mempertanyakan peran dan kemampuan konsultan pendirian Bank Banten yakni D'loyd dan Mitra Niaga karena tak pernah hadir dalam undangan konsultasi yang diminta oleh DPRD Provinsi Banten.

Adapun pengamat perbankan Saeful M. Ruki, mengatakan bahwa sesuai regulasi yang ada di Indonesia, hanya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saja yang memiliki kewenangan menyatakan sebuah bank itu sehat atau tidak maupun layak tidaknya di akuisisi.

"Sesuai regulitas, OJK menyatakan kesehatan bank, menerbitkan informasi. Konsultan tidak bisa menggugurkan yang telah direkomendasikan oleh OJK," kata saudara Plt Ketua KPK, Saefullah M Ruqi ini.

Pro kontra nasib Bank Banten kini terus bergulir. Pada intinya berbagai kalangan meminta agar proses pendirian kembali Bank Banten harus lebih hati-hati sesuai aturan dan kajian matang.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya