Liputan6.com, Jakarta - Maraknya rumah makan Minang atau biasa disebut restoran Padang yang tersebar hampir di seluruh penjuru negeri menunjukkan bahwa bisnis kuliner ini sangat menguntungkan. Apa rahasia yang membuat tukang masak, pelayan, kasir, hingga tukang cuci piring di rumah makan Padang betah dan bersemangat?
Jawabannya adalah main mato. Sistem main mato adalah suatu cara penggajian yang unik dan berimbas pada pengembangan usaha. Sistem ini membuat para pekerja di restoran itu bisa bekerja dengan riang gembira karena bisa mendapat kompensasi lebih baik seiring besarnya keuntungan rumah makan.
"Kalau main mato, para pekerja lebih senang dan melakukan yang terbaik. Sebab, mereka tahu semakin baik yang mereka kerjakan, pelanggan akan bertambah, dan mato yang mereka terima juga bertambah," ujar Ajo In, pengelola restoran padang RM Beringin di Kota Padang yang ditemui Liputan6.com beberapa waktu lalu.
Sistem penggajian ini menempatkan para pekerja di rumah makan padang sesuai dengan fungsi, berat ringan pekerjaan, dan status pekerja di rumah makan tersebut.
Baca Juga
Gaji pelayan atau tukang hidang dengan gaji tukang cuci piring dan koki berbeda. Namun, bukan berarti diskriminasi. Perbedaan hanya pada mato yang mereka terima.
"Mato adalah ukuran laba yang mereka terima di luar gaji pokoknya. Kalau gaji pokok itu, hampir semuanya rata. Kalau kami di sini, hitung mato itu per 100 hari," ucap Ajo In.
Ajo In, yang merupakan tukang paluang (pekerja yang khusus mengambil dan menghidangkan makanan) selama 25 tahun lebih di rumah makan itu, sekarang menjadi pengelola RM Beringin.
Menurut dia, dengan sistem kerja main mato itu para pekerja atau karyawan rumah makan memiliki kesempatan untuk membuka rumah makan sendiri.
"Sejak 25 tahun yang lalu saya bekerja di rumah makan ini sampai sekarang, kami masih memakai sistem main mato," ujar Ajo In.
Setiap rumah makan memiliki ukuran tersendiri untuk penentuan mato yang mereka dapat. Untuk Rumah Makan Beringin di Kota Padang, misalnya, mato untuk kasir 6 ditetapkan 6 mato, lalu untuk tukang paluang ditetapkan sebanyak 6 mato, tukang hidang 3 mato, juru masak 7 mato, sedangkan bagi tukang cuci piring dipatok 2 mato.
"Total mato yang ada itu 100 mato, 30 mato untuk karyawan, lalu 70 mato lainnya untuk kelangsungan usaha," ujar Ajo In.
Ajo In menjelaskan omset selama 100 hari itu dikurangi biaya operasional yang terdiri atas belanja bahan baku, biaya telepon, listrik dan lain-lain. Dari situ akan didapati laba kotor. Laba kotor ini dipotong 2,5% untuk zakat lebih dulu.
"Lebih dari laba kotor tersebutlah yang dijadikan 100 mato. Jadi laba kotor itu yang akan kami bagi dengan induk semang," kata Ajo in.
Meski tidak gajian bulanan seperti karyawan restoran dan tidak memiliki kejelasan soal upah minimum, semua pekerja di rumah makan Padang yang memakai sistem mato mengaku senang dan merasa beruntung dengan sistem tersebut.
Zainal, contohnya, pemuda asal Pariaman yang tamat SMA ini mengaku tak rugi meski ia pernah bekerja di salah satu pabrik di Kota Batam dan memiliki gaji sesuai UMP. Zainal mengaku lebih nyaman bekerja dengan sistem mato.
"Lebih jelas, transparan dan kita mendapatkan hasil sesuai dengan apa yang kita kerjakan," ujar Zainal.
Gaji setelah seratus hari kerja itu mendebarkan setiap karyawan. Bagaimana tidak? Jika rumah makan untung besar, gaji mereka bisa sampai belasan juta rupiah. Namun jika ternyata rumah makan merugi, mereka akan gigit jari untuk 100 hari ke depannya.
"Tapi biasanya kalau sepi, induk semang berikan kas bon pada setiap karyawan. Tapi tidak langsung sekali ke 13 karyawan yang ada, kami ganti-gantian diberi kas bon," ujar Ajo In.
Ajo In mengatakan selama dua dekade lebih ia bekerja, keuangan dari rumah makan sangat transparan dan tidak ada yang ditutup-tutupi. Keadaan ini pulalah yang membuat setiap karyawan berlomba-lomba memberikan pelayanan terbaik untuk pelanggan.
"Jika sudah banyak pelanggannya. Tentu omzet meroket," kata Ajo In.
Beda Mato
Lain halnya dengan Rumah Makan Sinar Minang yang juga berada di Kota Padang. Rumah makan ini menetapkan mato yang berbeda dengan Rumah Makan Beringin.
Meski sistem yang mereka pakai sama, tapi di Sinar Minang mato yang diberikan pada pekerja lebih besar. Bahkan untuk tukang paluang bisa dapat 10 mato.
"Dulu saya kerja di salah satu rumah makan padang yang cukup ternama di Kota Jakarta, tapi mereka tidak memakai sistem main mato. Akhirnya saya memilih di sini saja, lebih transparan, dan kita tahu laba rugi rumah makan tempat kita bekerja," ujar Muslim, tukang paluang Rumah Makan Sinar Minang.
Dari penelusuran Liputan6.com ke sekitar 30 lebih rumah makan di kota Padang, 30% di antaranya masih memakai sistem mato. Beberapa cabang rumah makan di daerah-daerah lain yang berpusat di Sumatera Barat juga menerapkan sistem yang sama.**
Advertisement