Liputan6.com, Jakarta - Pagi hari di Kalijodo berjalan normal. Beberapa warung rokok dan nasi tetap buka, menggantikan kafe-kafe yang semalam beroperasi.
Kalangan tua muda berbincang santai di depan rumah mereka. Mereka seolah tak terpengaruh dengan rencana razia penyakit masyarakat yang akan digelar oleh aparat gabungan dari Polda Metro Jaya dan Kodam Jaya.
Sehari sebelumnya, Kapolda Metro Jaya Irjen Tito Karnavian menyatakan akan menerjunkan ribuan personel. Sekitar 1.000-2.000 personel berasal dari Polda Metro Jaya dan masing-masing 500 personel dari Polres Jakarta Utara dan Jakarta Barat.
Sedangkan, Pangdam Jaya Mayjen Teddy Lhaksmana mendukung polisi dalam operasi itu. Ia memastikan akan menangkap oknum TNI yang kedapatan melindungi praktik kejahatan di Kalijodo.
Hantaman terberat tentu saja ultimatum dari Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Lelaki yang akrab disapa Ahok itu menegaskan rencananya untuk meratakan Kalijodo dengan mengirimkan Surat Peringatan Pertama (SP1) terlebih dulu.
Jika tidak digubris, pemerintah akan mengeluarkan peringatan kedua yang berlaku 3x24 jam dan terakhir surat peringatan ketiga yang berlaku 1x24 jam. Langkah pamungkas membenahi Kalijodo tentu saja upaya bongkar paksa bangunan.
SP1 kemudian disampaikan oleh Asisten Pemerintahan Jakarta Barat Denny Ramdany sekitar pukul 10.00 WIB. Langkahnya mengarah ke RT 07 RW 10, Angke, Tambora, Jakarta Barat, salah satu dari empat RT yang termasuk dalam kawasan Kalijodo.
Ia datang untuk menyosialisasikan SP1. Surat itu berisi permintaan pada warga untuk mengosongkan dan membongkar sendiri tempat tinggalnya.
"Hari ini merupakan bagian dari tahapan selanjutnya, di mana kita akan memberikan SP1, terkait rencana Pemprov DKI melakukan penataan di Kalijodo. Di mana waktunya itu adalah 7x24 jam," ujar Denny di lokasi, Kamis (18/2/2016).
Pemerintah mendata ada 105 bangunan yang akan dibongkar di RT tersebut. Menurut Denny, tidak ada alasan warga untuk tetap tinggal karena ia memastikan tidak seorang pun yang memiliki sertifikat tanah.
Pihaknya mencatat terdapat 86 kepala keluarga di RT tersebut yang akan dipindahkan. 18 KK di antaranya sudah mendaftar untuk tinggal di rumah susun. Rencananya mereka akan pindah ke Rusunawa Marunda dan Pulogebang.
"Saya optimistis semua warga mau," kata Denny.
Rapatkan Barisan
Sebagian warga memang nrimo dengan keputusan Pemprov DKI. Segera setelah selebaran SP1 tersebar, sebagian warga yang bermukim di RW 05, Kalijodo, sibuk berkemas.
Salah satu yang terlihat adalah seorang pemilik warung. Sejumlah barang sudah ditempatkan dalam plastik besar hitam dan kardus. Tidak hanya pakaian dan alat dapur, seorang bapak juga mendorong gerobak memindahkan mesin cuci.
Di tengah kerepotan itu, sebagian warga lainnya justru berancang-ancang untuk melawan. Mereka merapatkan barisan demi menentukan langkah bersama dengan kuasa hukum warga Kalijodo, Razman Arif Nasution.
Melalui Razman, warga menyatakan kecewa sebab surat peringatan yang diberikan menyebutkan bahwa Gubernur tak akan berdialog dengan masyarakat. Warga juga mengaku bingung dengan logika dan kebijakan Ahok yang mengerahkan aparat bersenjata untuk menekan warga.
Sebagai kuasa hukum, Razman mengingatkan agar Ahok tidak membongkar paksa. Ia juga menuntut agar Ahok mau duduk bersama dengan warga dan mendiskusikan jalan keluar dengan baik.
"Kenapa tidak dialog juga, kalau dia paksakan, maka saya dengan masyarakat akan bersikap," ucap Razman sesaat sebelum rapat dengan tokoh masyarakat di Kalijodo.
Penolakan warga atas rencana penggusuran juga disampaikan melalui pembentangan spanduk di Jalan Kepanduan II. Jalan itu merupakan pintu masuk kawasan yang telah berdiri sejak abad 18 itu.
"Kami warga Kalijodo minta ganti rugi yang adil, bangunan dan tanah," begitu bunyi spanduk yang dipasang.
Sedangkan, cara Syarif Min (56), warga RT 004 RW 005 Penjaringan, Jakarta Utara, lebih halus. Ia mengundang Ahok untuk bertandang dan ngopi ke Kalijodo. Ia juga berani pasang badan untuk menjamin keselamatan Gubernur jika benar-benar menerima undangan.
"Ini kan yang baru datang pasukan, sambil bawa senjata. Kayak intimidasi. Nah kita itu inginnya, Ahok ngobrol. Jelaskan kayak apa? Kita di mana tinggalnya? Misalnya kalau rusun, rusunnya kayak apa?" ujar Syarif.
Namun, harapan ataupun tuntutan itu diperkirakan akan ditolak Ahok. Mantan Bupati Belitung Timur itu pernah menyatakan tidak ada lagi alasan untuk tidak menutup area tersebut karena Kalijodo merupakan area hijau yang harusnya menjadi ruang terbuka publik.
"Jadi, kasus Kalijodo itu sebenarnya dalam Undang-Undang Pokok Agraria, sudah melanggar," tegas Ahok, belum lama ini.
Advertisement
Solusi Ekses
Wakil Presiden Jusuf Kalla mendukung langkah Pemprov DKI Jakarta menertibkan kawasan Kalijodo. Menurut JK, karena berdiri di atas lahan negara, sudah semestinya Kalijodo dikembalikan fungsinya sebagai ruang publik.
"Itu adalah hak masyarakat menikmati lapangan itu. Karena itu pemerintah harus bertindak dengan betul untuk membebaskan lahan-lahan milik publik itu," ucap JK.
Namun demikian, JK menekankan agar Pemprov DKI tidak hanya menutup. Pemprov DKI juga harus memperhatikan nasib warga di sana atau para pekerja yang selama ini mencari nafkah dari perputaran bisnis Kalijodo.
Ia juga tak sepakat dengan sikap Ahok yang menolak dialog. "Kalau dialog itu harus memang. Tapi dialog saya kira sudah agak panjang itu kan," ujar JK.
Solusi juga ditawarkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Ia menyatakan siap menampung warga dari Kalijodo, Jakarta, untuk disalurkan ke berbagai industri. Khususnya, sektor industri garmen yang ada di daerah Solo Raya, seperti Sukoharjo, Wonogiri, dan Boyolali. Syaratnya, mereka harus lulus pelatihan terlebih dulu.
"Jateng harus siap menerima, sebab kalau tidak, dia akan terusir dari republik ini," ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.
Dinas Sosial DKI Jakarta juga siap menampung para PSK Kalijodo setelah terusir dari kawasan itu. Kabid Rehabilitasi Sosial Dinsos DKI Chaidir menyebut dua panti milik Dinsos mampu menampung lebih dari 90 orang. Jumlah yang minim dibandingkan total PSK Kalijodo yang mencapai 400 orang.
"Nanti kita identifikasi dulu, kan belum tentu dia mau ditampung di pembinaan kita. Mungkin ada yang mau dipulangkan ke kampungnya, ya dipulangkan. Kalau mereka mau ikut pembinaan kita, baru ditampung. Kalau di Kemensos bisa menampung 100 lebih," ucap Chaidir.
Dengan beragam opsi solusi, warga kini tinggal memilih dan bertanggung jawab atas konsekuensi pilihan itu.