Asosiasi Pengusaha Bir Resah dengan Maraknya Miras Oplosan

Dewan Pimpinan Rakyat (DPR) tengah membahas Rancangan Undang-undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 06 Jun 2016, 18:29 WIB
Diterbitkan 06 Jun 2016, 18:29 WIB
20160502-Minuman-Keras-Jakarta-IA
Sejumlah botol minuman keras siap dihancurkan, Jakarta, Kamis (2/6). 12.203 botol miras dan 15.050 gram ganja hasil Operasi Pekat tahun 2016 tersebut dimusnahkan untuk antisipasi penyakit masyarakat jelang bulan Ramadan. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Dewan Pimpinan Rakyat (DPR) tengah membahas Rancangan Undang-undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol. Maraknya kejahatan, khususnya kejahatan seksual yang dipicu minuman beralkohol oplosan menjadi dasar kuat RUU itu dibahas.

Asosiasi para pengusaha bir, yang tergabung dalam Grup Industri Minuman Malt Indonesia (GIMMI), menilai RUU tersebut justru menyebabkan pelaku industri minuman legal menjadi tersudutkan. Padahal berdasarkan data Industri Bir Asia Pasifik 2014, Indonesia hanya menghasilkan 1 liter perkapita/tahun.

Menurut Executive committee GIMMI Ipung Nimpuno, produksi bir di Indonesia paling rendah jika dibandingkan dengan Malaysia, yang menegakan hukum syariah, produksinya 15 liter/tahun. Kemudian, ada Singapura 21 liter/tahun, dan ada Vietnam 35 liter/tahun.

"Jadi kalau yang disebut darurat minol, kenapa kepada kami? Harusnya kepada minuman yang ilegal dan oplosan," ucap Ipung di Jakarta, Senin (6/5/2016).

Dia pun menjelaskan, dari industri bir di Indonesia, sekitar 120 ribu orang tenaga kerja bisa diserap. Untuk itu perlu pengkajian lagi untuk pelarangan total terhadap produksi, perdagangan, sampai konsumsi minuman beralkohol, khususnya bir.

"Kita itu ingin menjadi partner pemerintah. Kita itu legal, ada izin BP POM-nya, selalu ada quality control. Seharusnya, yang ditekan peredaran miras ilegal di black market dan tanpa cukai, serta oplosan ini," ucap Ipung.

Karena itu, mereka meminta aturan yang tidak memojokan para pengusaha legal, khususnya bir. Sebab, semenjak aturan Kemendag yang lama, nilai cukai yang tadinya Rp 7 triliun, berkurang Rp 4 triliun.

"Karena itu, kalau Indonesia bisa mencontoh Jepang, Korea Selatan, ataupun Vietnam, yang bisa menelurkan regulasi tepat guna, tentu akan membuat semua pihak lebih baik," tandas Ipung.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya