Eks Pilot Lion Air: Kontrak Kerja Kami 18 Tahun

Mario juga mengungkapkan para pilot, acap kali diminta terbang di luar jam kerja.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 08 Agu 2016, 07:15 WIB
Diterbitkan 08 Agu 2016, 07:15 WIB
20150819-Pesawat-Baru-Lion-Air-Tangerang-Edward-Sirait
Pesawat Lion Air Boeing 737 800 NG tiba di Terminal 1 Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Rabu (19/8/2015). Lion Air kedatangan pesawat ke 150 Boeing 737, Lion Air Group kini telah mengoperasikan 244 unit pesawat berbagai tipe. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Lion Air memecat 14 pilot yang tergabung dalam Serikat Pekerja Asosiasi Pilot Lion Group (SP-APLG), lantaran dianggap melakukan berbagai pelanggaran perusahaan yang telah disepakati, seperti melawan perintah pimpinan dan tidak melaksanakan tugas, serta menghasut.

Tiga pilot yang dipecat pun mengadukan perbuatan maskapai berlambang singa terbang itu ke LBH Jakarta. Salah satu pilot yang dipecat, Mario Hasiholan mengatakan, kontrak kerjanya selama 18 tahun.

"Status pilot itu pekerja kontrak dengan denda pinalti dari Rp 500 juta dan sampai Rp 7 miliar. Seperti salah satu kontrak ini, masa kerja dari 2015-2033. Berarti 18 tahun dikontrak," ucap Mario di Jakarta, Minggu 7 Agustus 2016.

Dia menjelaskan, pinalti yang dimaksud itu adalah sebagai pengganti biaya training yang dilakukan para pilot.

"Pada Pasal 6 dalam kontrak, disebutkan pihak harus mengganti biaya training sebesar USD 715.339. Kontrak disodorkan setelah training, kalau kita menolak menandatangani maka kita akan diminta bayar biaya training," tutur Mario.

Bukan hanya itu, dia juga mengungkapkan para pilot, acap kali diminta terbang di luar jam kerja.

"Lion Air itu ada Operating Manual (OM) yang ditandatangi Kemenhub. Di Lion Air sehari itu 9 jam. Seminggu 30 jam, itu standar baku internasional. Tapi ada yang sampai 22 jam (sehari). Jam kerja, jam terbang sering. Hari libur kami sering dipaksa untuk bekerja. Jadi menurut mereka, libur itu pemberian, bukan hak," ungkap Mario.

Karena itu, lanjut dia, hal ini membuat gangguan psikis dan mental dari para pilot Lion Air.

"Bayangkan saja, kalau naik taksi dan lihat sopir taksi stres dan marah-marah, masih mau naik atau mau turun? Kalau di bawah (darat) masih bisa turun. Kalau di atas (udara) gimana? Makanya itu ada diatur. Kalau dia marah atau stres, pilot berhak atau wajib untuk tidak terbang," kata Mario.

Masalah ini berawal ketika Serikat Pekerja Asosiasi Pilot Lion Group (SP-APLG), menyebut maskapai berlambang singa itu kerap delay akibat adanya masalah internal perusahaan. Hal itu pun membuat pihak manajemen Lion Air geram.

Namun, Head Legal Lion Air Haris Arthur menyatakan, para pilot yang tergabung SP-APLG yang dipecat itu pernah bermasalah pada Selasa 10 Mei 2016 dengan melakukan pelanggaran fatal. Pihak Lion pun langsung memecat 14 pilot yang dianggap melakukan pencemaran nama baik.

Pada 10 Mei 2016,  Lion Air mengalami keterlambatan terbang atau delay di sejumlah bandara. Keterlambatan terjadi antara lain di Bandara Ngurah Rai Denpasar, Bali dan Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan.

Direktur Umum Lion Air‎ Edward Sirait juga menepis adanya serikat pekerja atau asosiasi di internal perusahaan dengan membawa nama Lion Grup.

"Lion air tidak memiliki asosiasi pilot dan apabila ada yang mengatasnamakan asosiasi pilot Lion Air, itu adalah pemalsuan dan penipuan," tegas Edward di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu 3 Agustus 2016.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya