Liputan6.com, Jakarta - Kepanikan melanda sejumlah warga yang sedang nongkrong di sekitar Jalan Kemang Raya pada Sabtu, 27 Agustus 2016. Tanpa disadari, air bah setinggi 40-60 sentimeter menerjang jalanan dengan cepat. Seketika, air masuk ke berbagai penjuru. Hanya dalam hitungan detik, basement gedung Kemang Square yang berdiri di Jalan Kemang Raya penuh dengan air.
Baca Juga
Kejadian ini sempat disaksikan Syamsuddin, juru parkir di kawasan Kemang. Laki-laki yang asal Jawa Barat itu tak bisa berbuat apa-apa. Sebab, air datang seketika hujan berkecepatan 135 milimeter per jam menerjang Ibu Kota. Syamsuddin hanya bisa menyaksikan mobil-mobil yang terparkir di basement terendam. “Saya tadinya mau dorong mobil, tapi saya enggak berani masuk ke basement,” kata lelaki yang akrab disapa Ucok ini kepada Liputan6.com, Kamis (1/9/2016).
Advertisement
Banjir yang menerjang Kemang diawali dengan robohnya tembok bangunan milik warga. Setidaknya, ada lima titik tembok jebol terhantam air. Salah satunya di dekat lahan Hotel Garden Kemang. Tembok itu roboh lantaran dibangun persis di samping Kali Krukut yang melintasi wilayah Kemang, yang secara administratif masuk ke Kelurahan Bangka.
Kepala Seksi Pemerintahan Kelurahan Bangka, Siswanto, menerangkan banyak warga yang sengaja membangun rumah di bantaran kali. Lantaran, jumlah penduduknya makin meningkat sedangkan lahan terus berkurang. “Akibatnya, kali yang tadinya lebar sekarang jadi menyempit,” kata Siswanto. Dalam catatan Siswanto, Kali Krukut di masa lalu memiliki lebar 20 meter. Tapi saat ini tinggal 3 meter hingga 5 meter.
Di sisi lain, penyempitan bantaran kali di satu sisi juga berdampak pada hilangnya resapan air. Ini jadi masalah yang menghalangi sistem zonasi lahan yang diberlakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Padahal, Pemprov DKI mempunyai kewajiban penyediaan ruang terbuka hijau sebesar 30 persen dari total wilayah DKI Jakarta. Sejauh ini, DKI baru bisa memenuhi 9,8 persen RTH dari total wilayah DKI yang mencapai 650 ribu kilometer persegi.
Kepala Bappeda DKI Jakarta Tuty Kusumawati mengakui target tersebut belum dipenuhi. “Masih banyak yang harus ditambah,” ungkap Tuty kepada Liputan6.com. Tuty menyadari masalah yang dihadapi bukan hanya penyempitan dan lahan resapan. Ada masalah lain yang menghantui, yakni potensi banjir kiriman darat dan banjir rob dari laut.
Banjir kiriman di darat, kata Tuty, berpotensi terjadi karena ada aliran sungai yang melintas dan bermuara di Teluk Jakarta. Sementara, hulu sungai ada yang berasal dari luar DKI. Di sisi lain, permukaan tanah di kawasan utara Jakarta kian turun dan muka air laut sudah tujuh sentimeter di atas tanah DKI. Keduanya menjadi masalah yang mendesak untuk diselesaikan.
Salah satunya hal yang menjadi perhatian Pemda DKI adalah satuan perencanaan target penataan ruang. Selama ini, menurut Tuty, Jakarta dipisahkan dari konstelasi Jabodetabek Punjur dalam satuan perencaan. Padahal, luas Jakarta tak lebih besar dari Kabupaten Bogor. Apalagi, ada 13 aliran kali dan sungai yang berhulu di Cianjur, Bogor, Depok, dan Tangerang, dan bermuara di Jakarta.
Tuty menilai, banjir Kemang yang terjadi karena penyempitan Kali Krukut harus menjadi momentum yang tepat untuk mengkaji ulang kawasan. Sebab terdapat permasalahan hulu dan hilir air dalam banjir tersebut. “Ini saatnya, untuk memperkuat kesatuan perencanaan Jabodetabek Punjur, terkait dengan penataan hulu hilir untuk daya dukung dan tampung lingkungan ini,” kata Tuty.
Jika satuan tersebut sudah direvisi, Tuty menjamin, penataan ruang dan antisipasi mitigasi bencana akan semakin mudah dilakukan. Ia mencontohkan rencana DKI membangun waduk di kawasan Brigif, Ciganjur, Jakarta Selatan. Waduk itu akan difungsikan untuk menampung aliran Kali Krukut yang berhulu di Depok, supaya air kiriman dari selatan tak menumpuk di aliran tengah Jakarta dan mengakibatkan banjir. “Kalau ini ditata lagi bareng-bareng, saya kira mudah-mudahan bisa tuntas permasalahan hulu hilir aliran sungai ini,” ujar Tuty menegaskan.